52. SAH

47.6K 2.9K 128
                                    

Sejak pulang fitting baju pengantin, Nayra banyak diam. Dia tidak banyak bicara. Jika ditanya perihal diamnya dia beralasan bahwa dirinya hanya gugup karena akan segera menikah dalam hitungan hari ke depan. Sejak dicumbu Guntur di mobil, Nayra benar-benar gelisah. Bagaimana tidak gelisah, dia masih takut ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Penundaan misalnya? Atau Guntur berubah pikiran? Ada saja yang dia takutkan. Karena memang selama berhubungan dengan Guntur, Nayra dihadapi masalah-masalah yang cukup pelik yang membuatnya resah. Nayra ingin kegelisahannya segera berakhir.

Dua hari lagi pernikahan Guntur dan Nayra akan tiba. Kini Bu Ola yang gelisah. Beberapa kali matanya tertangkap cukup lama menatap kamar Nayra. Dalam hitungan hari, kamar itu akan kosong. Karena penghuninya akan pergi. Tidak akan didengarnya celotehan Nayra lagi. Bu Ola pasti akan merindukan semua tentang putrinya itu. Putrinya yang selalu semangat, yang sedihnya tak berlangsung lama, yang selalu membantunya, yang selalu sewot jika digoda. Bu Ola pasti rindu dengan wajah sewot Nayra.

Juga Farid. Sore tadi, dia dipanggil pihak KUA yang mengingatkan untuk melafalkan ijab dengan baik. Farid sedih ketika dia membaca lafaz itu dalam hati. Apa dia siap melepas kakak kesayangannya itu? Apa dia siap tidak lagi dipeluk-peluk, dicium-cium Nayra setiap pagi? Apa dia siap tidak lagi melihat wajah binar kakaknya jika ditanya perihal masa depannya? Farid menghempaskan napasnya. Dia hanya menatap bacaan ijab itu dengan tatapan sendu.

Dan malam ini Bu Ola mulai tersenyum ketika melihat Nayra yang sedang duduk-duduk di atas kasurnya sambil melihat-lihat layar ponselnya.

"Lagi ngapain?" tanya Bu Ola seraya melangkah masuk ke kamar Nayra, lalu duduk di sisi Nayra.

"Baca-baca, Bu," jawab Nayra.

"Baca apa?"

Nayra tergelak.

"Tentang suami istri,"

"Kirain malam pertama..."

Nayra tertawa kecil.

"Sakit ya, Bu?" tanya Nayra polos. Sedikit bergidik membayangkan milik Pak Gun akan masuk ke tubuhnya.

"Ya..., biasa, Nay. Sakitlah,"

Bu Ola memijat-mijat pundak Nayra.

"Kamu kurang tidur dua malam ini ibu perhatikan. Ibu dulu nggak segelisah ini."

Nayra menghela napas pendek, sedikit berdecak.

"Entahlah, Bu. Gelisah banget. Apalagi kalo ingat-ingat persoalanku dengan keluarga Pak Gun," Nayra mengusap-usap bekas luka di tangannya yang kini hanya dibalut dengan plester cokelat. "Belum lagi kalo ingat wajah tunangan Pak Gun. Sampe sekarang aku bingung kenapa secepat itu Bu Hanin berubah hangat? Juga Pak Gun yang memutuskan menikah dengan aku."

Nayra menelan ludahnya. "Mau nanya, tapi seolah-olah tenggorokanku nggak sanggup untuk menanyakan itu,"

"Udah. Nanti kamu malah gelisah terus. Menurut ibu sepertinya sudah diselesaikan Pak Gun. Atau ya..., ibunya yang berubah..., malam waktu lamaran ibu liat ibunya senang banget kok. Kayak lega gitu,"

Bu Ola terus memijat-mijat pundak Nayra.

"Yang penting niat kamu luruskan saja. Jadi istri yang baik. Nurut kata suami. Kalo ada yang salah luruskan. Nanti kalo sudah menikah harus lebih terbuka. Nggak usah ada yang disembunyikan."

Tidak lama, Farid muncul. Dia langsung memisahkan ibu dan kakaknya mengambil posisi duduk di tengah-tengah mereka.

"Ih..., suka gitu deh," rutuk Nayra sambil mengacak rambut Farid.

"Gimana sudah hapal?" tanya Bu Ola.

Farid bukannya menjawab. Dia malah memeluk kakaknya manja.

"Kak. Aku pasti bakal kangen..." ujar Farid.

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang