45. Tenang, Bu

29.6K 2.6K 63
                                    

Wajah Bu Sari dan Mbok Min cerah saat mendengar cerita Pak Johan mengenai pembatalan pelimpahan harta dari Bu Hanin ke Sheren. Namun sayang, Pak Johan tidak dapat menjelaskan secara detail tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam ruang utama rumah Bu Hanin yang dihadiri orang-orang penting dan tim pengacara.

Pak Johan mengaku saat mendengar ribut-ribut di ruang itu dia sedang berada di toilet. Begitu ke luar dari toilet, dia malah disuruh jemput Bu Sari dan Mbok Min oleh Pak Anggiat, pengacara sekaligus orang terdekat Bu Hanin.

"Sepertinya ditutup-tutupi. Aku nanya sama Kang Dadang, satpam rumah Bu Hanin, dia bilang dia nggak boleh buka mulut. Wes..., diam aja. Ntar lama-lama juga taulah...," ujar Pak Johan yang tampak santai mengendarai van. "Yang penting, kita-kita nggak was-was lagi. Itu ajah...," lanjutnya menenangkan.

Dan wajah-wajah penuh tanya pun tersorot dari para penumpang Pak Jo kali ini. Mereka semua terdiam mengira-ngira apa penyebab pembatalan tersebut.

"Majikan nggak marah nih? Pergi-pergi nggak pake izin?" tanya Pak Johan begitu menyadari keheningan di dalam van. Dia senyum-senyum melihat dua pembantu tetangga yang tampak takjub dengan isi van mewah yang dikendarainya, lewat kaca spion depan.

"Majikanku lagi di Pret, Pak Jo," jawab Rasti. Dia terlihat duduk sangat rapi di kursi bagian paling belakang van.

"Aku mah ntar tinggal dijelasin aja. Kalo majikanku marah, aku marah balik," sela Uli. Kontan semua yang di mobil tertawa mendengar tanggapan Uli. Pembantu berbadan bongsor ini memang cuek, tapi sangat rajin juga terkenal loyal. Saking rajin dan loyalnya, majikannya sangat menyayangi Uli, karena Uli pernah menyelamatkan anak majikannya yang hampir diculik dari sekolah, hingga terjadi baku hantam antara Uli dan dua penculik. Sejak kejadian itu Uli sangat dipercaya juga disayang oleh majikannya.

"Sik, majikanmu di Pret, maksudnya apa, Rasti?" tanya Bu Sari tiba-tiba. Dia merasa aneh dengan jawaban Rasti sebelumnya.

"Itu lho, Bu. Sing di Ostrali, moso nggak tau sih? Luar negeriii,"

"Hah, kamu itu, yang bener nyebut, Rastiii. Perth..., kok Pret," ralat Bu Sari disertai gelak tawa yang lainnya.

Rasti hanya senyum-senyum menyadari kenaifannya.

Setelahnya, tidak ada lagi keheningan di dalam van. Malah sebaliknya, dipenuhi canda tawa.

***

Orang-orang tampak sibuk lalu lalang di sekitar rumah Bu Hanin. Beberapa mobil mewah masih terparkir di depan pekarangan rumah megah tersebut. Ada beberapa yang bercakap-cakap melalui ponsel dan kata-kata 'tunda' dan 'tidak jadi' acapkali terdengar dari mulut-mulut mereka. Yang pasti, lega terlihat jelas dari raut wajah-wajah mereka.

Tapi, di balik kelegaan itu, ada sendu di rumah Bu Hanin. Karena sang pemilik rumah tengah terbaring lemah di kamarnya.

Dan rombongan yang dibawa Pak Johan sudah tiba. Mereka heran, karena disambut bak pahlawan. Pintu mobil saja dibukakan oleh salah seorang satpam. Mereka juga dikawal saat memasuki rumah Bu Hanin.

Ketika berada di dalam ruang utama, Bu Sari langsung dirangkul Anggiat, pengacara Bu Hanin.

"Sari. Nggak usah banyak nanya-nanya dulu. Pokoknya diam-diam saja. Kamu boleh tanya kabar, apa yang dibutuhkan..., yaa..., pokoknya kasih perhatianlah, pijit-pijit..., ya kamu taulah Bu Hanin," ujar Anggiat. Pria bertubuh tinggi besar berkulit gelap itu terlihat sangat bijak saat menyentuh pundak dan menatap Bu Sari. Sepertinya dia memang pengacara handal yang pandai bersikap.

"Apa yang terjadi, Anggiat?" tanya Bu Sari. Dia mulai khawatir.

"Udah. Nggak perlu tau. Yang penting semuanya aman. Satu lagi, Sari. Kalo Bu Hanin nanya Guntur, bilang Guntur baik-baik saja. Masalahnya, ini kita lagi cari keberadaan Guntur. Dihubungi ponselnya nggak nyambung-nyambung. Jangan bilang nggak tau, takut kepikiran lagi dia."

"Duh..., Den Mas Guntur memangnya nggak ada di apartemennya, Anggiat?"

"Sudah dicari ke sana. Nggak ada pun batang hidungnya. Di kantornya juga nggak ada. Para staff di sana bilang dia memang sejak kemarin nggak ngantor."

Akhirnya dengan perasaan bercampur aduk, Bu Sari mengangguk menyanggupi apa yang diperintahkan Anggiat. Ini juga demi ketenangan Bu Hanin, sang majikan.

_______

Bu Hanin yang terbaring lemah tersenyum senang ketika dua pembantunya menjenguknya di kamarnya. Bu Hanin sendiri ditemani dua perawat berseragam yang sibuk mengawasi keadaan dirinya.

"Sari..., Mina. Duduk sini. Nggak usah di bawah," ujar Bu Hanin yang lemah. Suaranya terdengar serak. Dia menginginkan Bu Sari dan Mbok Min duduk di tepi tempat tidurnya, mendekati dirinya.

"Oh iya, Bu. Maaf, saya ajak teman saya. Ini Rasti. Ini Uli...," Bu Sari memperkenalkan Uli dan Rasti. Dua pembantu tetangga itu menyalami Bu Hanin sambil menunduk penuh hormat.

"Saya Uli, Bu. Pembantu Koh Liko, yang rumahnya di sebelah rumah Ibu...," ujar Uli. Sikapnya sopan sekali. Ketiga temannya sempat takjub saat mengamati sikap Uli yang biasanya terlihat cuek dan sinis.

Bu Hanin membalasnya dengan senyuman.

"Saya Rasti. Pembantu Pak Said Youdha." Rasti ikut menyalami.

"Wah..., terimakasih sudah datang. Nggak usah duduk di bawah. Ambil kursi, geser ke sini..., dekat saya," cegah Bu Hanin ketika dilihatnya dua pembantu tetangganya itu sudah siap-siap duduk di atas lantai kamarnya yang berkarpet tebal yang nyaman. Akhirnya Rasti dan Uli mengambil kursi masing-masing yang ada di kamar itu.

Bu Sari dan Mbok yang duduk di tepi dipan saling pandang. Sikap Bu Hanin luar biasa berubah. Tidak seperti biasanya yang sukanya marah-marah atau ngedumel.

Tak lama kemudian, Bu Hanin memegang tangan kanan Bu Sari yang duduk di dekatnya.

"Saya minta maaf, Sari. Saya sadar kata-kata saya tidak elok saat memarahi kamu," ucap Bu Hanin. Dia tampak lemah. Wajahnya menunjukkan penyesalan luar biasa.

"Nggak papa, Bu. Saya juga minta maaf kalo kata-kata saya menyinggung hati ibu...," balas Bu Sari sambil mengusap-usap lengan Bu Hanin.

"Saya juga, Bu Hanin. Maaf kalo kerja saya nggak beres...," sela Mbok Min. Entah kenapa wajah Mbok Min sangat menghiba kali ini. Dia tidak menyangka bisa sedekat seperti sekarang dengan Bu Hanin. Dan dia senang bisa menyentuh kaki mulus Bu Hanin. Diusap-usapnya kaki majikannya itu.

"Nggak papa, Min. Tapi lain kali yang rajin ya?" ujar Bu Hanin disertai tawa yang lain.

"Nggih, Bu," ucap Mbok Min.

Setelahnya, mereka hanya bercakap-cakap ringan, seputar kehidupan masing-masing, terutama kehidupan para ART yang ada di dalam kamar itu. Bu Hanin senang sekali mendengar celoteh-celoteh mereka yang kerap mengundang senyum. Bahkan dua perawatnya pun ikut-ikutan mendengar dengan seksama cerita-cerita seputar kehidupan mereka.

Bu Hanin tersenyum haru, bagaimana tidak haru mendengar kisah mereka. Mereka hidup jauh dari keluarga, mengais rezeki untuk menghidupi keluarga mereka yang tinggal jauh di kampung halaman. Sungguh tidak bijak dan tidak elok jika sampai melukai hati mereka dengan merendahkan derajat mereka. Mereka sudah merendahkan diri untuk menunjukkan kesetiaan, jangan direndahkan lagi.

***

Sebelum Tata pergi dari rumah Bu Hanin...,

Ada kesepakatan yang dibuat Tata dan Anggiat ketika Bu Hanin pingsan. Tata meminta kejadian ini tetap menjadi rahasia. Cukup diketahui orang-orang yang hadir di dalam ruangan itu ditambah seorang satpam yang berada di luar. Tata tidak ingin orang tuanya kecewa lagi dengan adanya peristiwa ini, karena dirinya sudah berusaha berubah dalam beberapa tahun terakhir. Namun karena insiden semalam ketika Sheren memohon bantuannya, dia hampir saja kembali ke dunianya yang suram.

Dan Pak Anggiat menyetujuinya. Tata pun lega. Dia langsung pergi setelah kesepakatan itu disanggupi oleh pihak Bu Hanin, yang diwakili Pak Anggiat.

______

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang