29. Yuk Makan

34.4K 2.7K 35
                                    

Nayra dan Farid terkagum-kagum melihat gedung kampus tempat Pak Guntur bekerja dan mengajar. Gedung mewah yang disertai fasilitas lengkap. Begitu memasuki gerbang utama, mereka disambut ramah sang satpam meski hanya mengendarai motor kecil saja. Sungguh sangat beradab.

Mata Nayra dan Farid berbinar ketika pandangan keduanya mengedar ke seluruh penjuru kampus. Wajah-wajah serius di mana-mana. Wajah-wajah haus ilmu. Kemudian pandangan mereka juga tertuju ke tulisan-tulisan yang penuh makna dan kata-kata optimis dalam menghadapi kehidupan modern.

Nayra dan Farid kerap saling pandang. Nayra yang bahagia melihat Farid yang akan segera melanjutkan impiannya, dan Farid yang senang karena kakaknya yang selalu mendukungnya.

Dan mereka kini sudah berada di depan pintu kantor Pak Guntur.

Guntur membuka pintu kantornya setelah diketuk pelan oleh Nayra.

Senyum lebar menghiasi wajahnya saat melihat Nayra dan Farid berdiri di hadapannya.

"Masuk...," ajaknya.

Nayra dan Farid memasuki ruangan kantornya yang wangi dan bersih. Tapi kurang rapi. Ada beberapa tumpukan kertas yang acak-acakan tegeletak di atas meja kerja Pak Guntur.

Pak Guntur lalu mengunci pintu ruangannya saat Nayra dan Farid sudah berada di dalam.

"Nggak susah kan cari alamatnya? Nyasar?"

Farid yang sudah duduk di atas sofa menggeleng.

"Nggak, Pak. Namanya juga kampus terkenal, jadi alamatnya nggak susah diikuti," ujar Nayra sambil meletakkan kotak makanan ke atas meja kecil di samping meja kerja Pak Guntur. Dia susun dengan rapi.

Guntur tersenyum melihat Nayra.

"Duduk sini, Farid," perintah Guntur yang sudah duduk di depan meja kerjanya. Farid yang sebelumnya duduk di sofa, kini pindah duduk di kursi di hadapan Guntur.

"Saya sudah lapar, Nay. Siapkan sekarang saja," ujar Guntur sambil memegang perutnya. Nayra hampir saja ingin ikutan duduk di sisi adiknya, karena mengira Guntur belum berminat langsung menyantap rawon buatannya.

Guntur meraih kursi kecil ke sisinya.

"Duduk sini..., suapin saya ya, Nay?" pintanya. Guntur mulai manja.

Nayra terkesiap mendengar permintaan Guntur. Dia lirik wajah Farid yang menahan senyum. Dan Guntur bersikap seperti biasa. Sambil memainkan mouse komputer yang ada di hadapannya, dia mulai perbincangan dengan Farid.

"Jadi kamu ingin kuliah di Perancis, Farid?"

"Iya, Pak. Hm..., sudah masukin aplikasi beasiswa Isdb sih. Tinggal nunggu pengumuman minggu depan,"

"Uni mana? Jurusan?"

"Saya pilih Universitas of Caen Normandy. Rencananya ambil Business dan Social Sciences, Pak...,"

Pak Guntur mengangguk-kepalanya sambil mengetik sesuatu di keyboard komputernya.

Nayra sudah duduk di bangku di sisi Guntur. Dia sudah siap menyuapi Guntur.

"Masih panas nggak, Nay?" tanya Guntur, sementara tangannya tidak berhenti mengetik sesuatu.

"Udah hangat, Pak," jawab Nayra sambil mengaduk-aduk kuah rawon yang sudah dia campur dengan nasi putih. Wangi rawon pun tercium di ruang kerja Pak Guntur.

Dan suapan pertama sudah mendarat di mulut Guntur. Nayra tersenyum melihat wajah melas kekasihnya. Sepertinya Guntur memang haus kasih sayang. Kasih sayang seorang perempuan.

Farid yang mulanya agak sedikit kikuk melihat sikap dua sejoli itu, kini mulai berusaha membiasakan diri.

"Hm..., kamu mesti punya alternatif lain, Farid. Bahasa Inggris aktif? Perancis?" tanya Guntur setelah menelan suapan pertamanya.

"Alternatif lain saya ambil di Perguruan negeri di sini saja, Pak. Bahasa Inggris saya aktif. Perancis yang nggak,"

"Ini Uni tua. Usianya 585 tahun,"

"Iya, Pak. sudah saya cari infonya...,"

"Atau mau di sini?" tawar Guntur iseng.

Farid tertawa mendengarnya. Dipandangnya Guntur segan. Apalagi saat melihat kakaknya dengan tekun menyuapi duda itu, perasaan segan pun bertambah-tambah.

"Ada juga program beasiswa. Cuma nggak full,"

Guntur yang mengunyah menatap Farid yang sepertinya tidak berminat untuk kuliah di kampus tempat dirinya mengajar. Farid tampaknya ingin sekali kuliah di luar negeri seperti dirinya.

"Pertama, siapkan mental. Lalu tetapkan tujuan. Buat list apa saja yang harus kamu lakukan di awal-awal tahun dari sekarang. Yang pasti di tahun pertama, kamu akan menghadapi beberapa hal yang tentu akan membuat kamu syok, karena budaya dan gaya hidup yang berbeda, ya, termasuk berusaha beradaptasi dengan cuaca yang pasti berbeda,"

Farid mengangguk-anggukkan kepalanya.

Guntur lalu disuap Nayra kembali.

Ada sedikit bekas kuah yang menempel di sisi bibir Guntur, Nayra cepat menyambar tisu yang ada di meja Guntur, lalu melapnya dengan penuh kasih. Nayra sudah pandai memanjakan duda itu sekarang.

"Nah, kamu kan sudah tau apa yang akan kamu pelajari nanti jika lulus. Jangan malas-malas atau senang-senang. Kamu harus gercep mencari informasi semua mata kuliah yang wajib dan tidak. Yang wajib kamu prioritaskan, cepat kamu pelajari..., belajar membaca jurnal-jurnal tentang bisnis dan ekonomi, isu-isu modern, banyak hal lainnya. Jangan main game...,"

Farid tertawa.

"Dia bukan gamer, Pak," bela Nayra. Dia tahu sekali adiknya tidak suka ikut-ikut main game seperti kebanyakan anak-anak laki-laki seusianya.

"Paling sukanya baca novel," tambah Nayra sambil menyuapi Guntur makanan.

"Yah..., boleh main game. Asal jangan lupa waktu,"

"Iya, Pak. Bener. Teman saya meski gamer sejati, tetap pinter. Malah lebih pinter dari saya...,"

Pak Guntur tergelak. Sampai sedikit batuk-batuk. Nayra pun langsung memberinya minum.

"Tapi jangan iri..., orang-orang itu berbeda-beda. Ada yang pinter, main game, tapi tetap pintar seperti yang kamu sebut tadi, ada juga ya...kayak kamu mesti rajin dan fokus, baru bisa mencerna pelajaran. Ada juga yang malas, tapi malah cepat menangkap pelajaran. Tinggal kita sesuaikan yang mana tipe kita?"

Guntur berdehem sejenak.

"Yang penting passion. Nggak punya passion kita nggak bisa 'hidup'. Kayak saya, passion saya mengajar, saya merasa 'hidup' jika saya mengajar. Atau kamu punya passion belajar sekarang. Kamu pasti merasa bahwa kamu 'hidup' jika kamu mempelajari sesuatu yang kamu suka...,"

Guntur tersenyum melihat wajah binar Farid. Mirip sekali dengan Nayra. Lalu diliriknya Nayra yang sudah siap-siap menyuapinya lagi. Disambutnya makanan yang tersodor ke mulutnya, mengunyahnya sambil menatap wajah manis Nayra.

"Atau Kakakmu ini, passionnya jual jamu. Kalo nggak jual jamu, dia nggak 'hidup'...,"

Nayra tertawa. Farid juga.

"Canda, Nay...," decak Guntur sambil mengusap-usap pinggang ramping Nayra.

Tidak terasa makan siang Guntur sudah habis tak bersisa. Guntur tampak senang dan bahagia saat itu. Dia banyak senyum bahkan tertawa. Padahal selama ini, dia selalu terlihat serius dan jarang tersenyum. Kehadiran Nayra dan adiknya merubah suasana hati Guntur. Menyenangkan.

Tiba-tiba terdengar pintu ruang terdengar diketuk.

Guntur menoleh ke Nayra agar membantunya membukakan pintu kantornya.

Nayra menurut. Langkahnya cepat menuju pintu dan membukanya.

Tampak seorang perempuan berambut cepak, berdiri di depan pintu. Perempuan itu sedikit tersentak melihat Nayra.

"Oh..., masuk, Tata...," sahut Guntur dari dalam ruangnya.

Perempuan yang bernama Tata itu pun masuk. Dia melirik-lirik Nayra juga Farid.

Farid langsung memindahkan tubuhnya duduk kembali ke sofa. Sementara Nayra melangkah menuju meja kecil yang berada di samping meja kerja Guntur, membereskan kotak-kotak bekas makan siang Pak Guntur.

***

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang