64. Sleep with Me

43.3K 3.1K 93
                                    

Senyum Ayu terus mengembang sejak duduk di sisi papanya di dalam mobil. Dia tidak bosan-bosan melirik papanya yang mengajaknya ke kantor pagi ini. Cemburu yang dia rasakan ketika melihat papanya bermesraan dengan Mama tirinya perlahan lenyap. Namun rasa khawatir tetap ada. Khawatir papanya tidak sehangat sebelumnya, khawatir rasa sayang papanya berkurang atau mungkin hilang.

Selama perjalanan menuju kantor, Guntur tidak bosan mendengar celoteh manja anaknya tentang sekolahnya yang sedikit membosankan. Bersekolah di sekolah bertaraf internasional di Johor bukannya membuatnya lebih giat belajar, tapi malah malas, karena tuntutan yang sangat berlebihan menurutnya tidak sesuai dengan kemampuannya.

"Ayu pingin ikut kursus modelling, biar sekolah nggak bosen," keluh Ayu.

"Terus kendalanya apa?"

"Mami nggak bolehin. Katanya nggak bagus ikut-ikut gitu. Harus kayak dia dulu. Pinter, ranking teratas terus. Harus gitu katanya."

Guntur tersenyum mendengar keluhan anaknya. Mila memang sangat cerdas sedari kecil. Wajar dia ingin anaknya seperti dia. Karirnya sebagai dosen terbang di beberapa kampus ternama di Asia memang sangat mengagumkan. Guntur akui Mila memang perempuan yang sangat pintar, bahkan jenius, tapi ambisius.

Guntur mengusap-usap kepala Ayu. Dia bahagia bisa sedekat ini kembali dengan anaknya.

__________

Hari itu Guntur tidak memiliki jadwal mengajar. Namun jadwal bimbingan tetap ada. Ada beberapa mahasiswa tengah berdiri mengantri menunggu giliran untuk dibimbingnya. Terutama mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun laporan akhir. Ada yang ke luar dengan senyum kecut, ada yang sumringah, ada juga yang lemas. Tapi hampir semua tampak senang, khususnya mahasiswa laki-laki. Maklum, ada makhluk cantik di dalam ruangan sana.

Selama di kantor papanya, Ayu membantu menata dokumen-dokumen yang menumpuk tinggi. Guntur tersenyum melihat gerak kaku Ayu saat menyusun. Ayu memang sangat dimanja maminya. Seringkali terdengar deru napas keluh dari Ayu. Padahal belum setengah jam dia melakukannya.

"Udah. Makan dulu nih..." Guntur menata kotak-kotak makanan yang dia bawa dari rumah di atas meja kantornya. Ada berbagai makanan yang tertata cantik dan siap disantap siang itu.

"Enak, Yu?" tanya Guntur yang melihat Ayu yang sudah mendaratkan suapan pertamanya.

Ayu mengangguk.

"Masakan Mama Nayra pasti enak. Ini baru sayur asem. Coba rawon. Pasti kamu ketagihan." Guntur sepertinya mulai memuji-muji istrinya di hadapan Ayu. Dia menyadari Ayu belum sepenuhnya menyukai Nayra meski sudah minta maaf semalam. Hal ini dia lakukan agar rasa cemburu dan khawatir anaknya berkurang.

Ayu mengangguk sambil terus menyeruput kuah sayur asam kesukaannya.

Makan siang Ayu cukup banyak. Mungkin karena perasaannya berangsur tenang selama berdekatan dengan papa kandungnya. Tapi, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ada yang menghubunginya.

"Ya, Mi?" decaknya santai. Matanya melirik ke papanya yang sedang makan sambil menatap layar komputer besar.

"Hm. Lagi di kantor sama Papa." Ayu menatap papanya takut-takut. Sementara Guntur masih terus dengan kegiatannya, makan sambil membaca artikel yang muncul di layar komputernya.

"Pa..., Mami mau ngobrol," ujar Ayu sambil menyerahkan ponselnya ke papanya.

Guntur mendelik. Dia sambut ponsel dari Ayu.

Klik. Dia matikan.

"Kamu ikut papa kantor ini, bukan menjadi perantara komunikasi antara Mami dan Papa. Ini waktu khusus antara Papa dan kamu. Papa nggak mau kita diganggu. Kamu mau baca SMS dari Mama Nay? Nih..."

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang