58. Kangen

40.6K 2.2K 29
                                    

Farid takjub dengan presentasi yang disampaikan Guntur di sebuah forum diskusi panel yang diadakan di Universitas Leiden, mengenai pekembangan perekonomian dunia, khususnya di negara-negara yang sedang menerapkan ekonomi syaria. Dia kagum melihat penampilan Guntur yang sangat pandai mengajak para peserta mendengar dan menganalisa setiap apa yang dia sampaikan. Farid akhirnya menganggap adalah hal yang wajar ketika dia mendapatkan isu bahwa Guntur merupakan dosen yang kikir memberi nilai lebih kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah yang dia ajar. Guntur memiliki standar tinggi.

"Harus pede. Kelemahan mahasiswa Asia, terutama Indonesia ketika mengikuti kuliah di kampus barat itu adalah mereka kurang percaya diri dalam mengungkapkan pendapat ketika berbicara di dalam kelas. Padahal ide-ide mereka sangat brilian. Mas dulu awal memang begitu, sering diejek karena tata bahasa Mas yang kurang bagus. Lucunya, yang menghina itu padahal sesama mahasiswa Indonesia. Tapi Mas tidak ambil pusing, karena berkali-kali Mas berbicara dan berpendapat di dalam kelas, selalu mendapat apresiasi tinggi oleh dosen. Kuncinya pede. Jangan peduli kata orang. Kayak kakakmu, si Nay..., pede aja jual jamu. Nggak peduli cibiran orang-orang. Tekadnya cuma satu, kepingin adiknya lebih sukses dari dia..."

Farid tersenyum. Guntur sepertinya sangat merindukan kakaknya. Wajar saja, baru seminggu menikah, Guntur harus meninggalkan Nayra. Dan itulah nasihat Guntur ketika menemani Farid jalan-jalan berkeliling calon kampusnya di Caen, Paris.

Farid merasa sangat beruntung kali ini. Bisa jalan-jalan di kota Caen, juga Paris. Ditemani kakak iparnya yang sangat perhatian.

"Ingat. Fokus. Jangan suka ikut-ikutan club-club nggak jelas. Kamu dapat beasiswa untuk belajar yang baik, kemudian kamu manfaatkan ketika kembali ke tanah air."

***

Selama suami dan adiknya berada di Eropa, Nayra menemani ibunya. Sebenarnya ibunya sudah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja ditinggal sendiri. Tapi Nayra yang bersikeras ingin menemaninya.

"Bu..., mantan istrinya Pak Gun nelpon sehari setelah kita nikah. Katanya anak Pak Gun mau datang ke mari. Tapi nggak tau kapan..." ujar Nayra saat membantu ibunya menyiapkan rempah-rempah jamu.

"Kamu khawatir?" tanya Bu Ola.

"Entahlah, Bu. Mungkin."

Bu Ola tergelak.

"Yah, Nay. Resiko nikah sama duda, ya begitu. Pasti ada masalah yang nggak kita duga-duga."

"Pak Gun kesal. katanya kok mantannya itu nelpon pas baru aja kita nikah..., kayak nggak ada waktu lain aja..."

Bu Ola tertawa kecil. "Nay, Nay. Yang namanya orang itu kan beda-beda. Nggak bisa kita berharap akan bersikap yang kita mau. Menurut ibu, hadapi saja. Mainkan saja peranmu sebagai istri yang baik. Dengerin kata suami. Kalo ibu amati Pak Guntur sayang banget sama kamu. Yakin saja."

Nayra tersenyum mendengar kata-kata yang menenangkan dari ibunya.

"Cuma..., apa aku siap nanti ketemu anaknya ya, Bu,"

Bu Ola menghela napas berat. Dia agak sedih mendengar nada bicara Nayra.

"Ibu memang belum pernah menghadapi masalah seperti yang kamu hadapi sekarang. Almarhum bapakmu nggak pernah pacaran atau menikah, ibu juga. Kita menikah karena diperkenalkan. Kenalan, trus seminggu yah..., surat-suratan trus sepakat menikah. Nggak pake pacaran kayak kamu. Tapi menurut ibu..., kamu harus tetap berusaha menyayangi anak suamimu, meski anaknya nggak acuh sama kamu misalnya. Atau benci kamu. Jangan dibalas nggak suka, kayak kamu dulu ketika ditabrak dan dicaci sama Pak Gun. Kamu malah buang muka terus pas kerja di sana..."

"Tapi kan aku kerja sebaik mungkin, Bu..." sela Nayra. Bu Ola tersenyum melihat wajah sewot Nayra.

"Cuma nggak suka aja sama Pak Gun dulu...,"

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang