56. Inggih, Bu

43.4K 2.6K 57
                                    

Guntur menyeka bibirnya dengan serbet setelah menikmati sarapan paginya bersama ibunya di ruang makan. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangan setelah ibunya memberitahu bahwa mantan istrinya sepertinya mulai menginginkan adanya komunikasi.

Hampir lima bulan Guntur tidak mendapatkan kabar apa-apa dari Ayu, buah hati hasil pernikahannya dengan Mila, istrinya terdahulu. Terakhir, Ayu sempat datang ke Pandeglang, kampung halaman Mila. Guntur saat itu hendak bertemu, tapi dilarang Mila karena Ayu sudah harus berangkat lagi menuju Johor. Yang menyakitkan Guntur adalah dia diberitahu temannya tentang keberadaan Ayu tepat di hari Ayu harus kembali ke Johor. Guntur geram sekali waktu itu.

Ada sesuatu hal yang menyebabkan Mila tiba-tiba memutuskan komunikasi secara sepihak. Dia cemburu dengan pertunangan antara Guntur dan Sheren. Selama delapan tahun bercerai, Guntur dan Mila masih kerap berkomunikasi, bahkan Mila terkadang lepas kontrol dengan mengatakan bahwa dia masih mencintai Guntur dan rindu masa-masa dengan Guntur. Bahkan pernah merayu Guntur untuk rujuk, demi Ayu. Tapi Guntur jelas menolak. Meski dia masih mencintai Mila, hingga sulit baginya menemui perempuan lain karena bayang-bayang Mila terus berada di alam pikirannya, Guntur tidak ingin hari-harinya ke depan penuh masalah. Apalagi status Mila adalah istri orang lain. Janda pun, Guntur tetap tidak menginginkan Mila lagi. Prinsip Guntur, untuk apa menjalin hubungan dengan orang yang pernah menyakitinya. Lebih baik sendiri, lebih baik memikirkan kehidupan sendiri, lebih baik fokus dengan karir akademiknya. Egois memang. Tapi itu sudah prinsipnya.

Karenanya Guntur senang sekali bisa segera menikah dengan Nayra setelah mendapat restu dari ibunya. Dia juga tidak berniat memberitahu Mila. Untuk apa? Toh Mila tidak lagi menghubunginya. Bahkan melarang dirinya berbicara dengan Ayu.

Sebenarnya awalnya Guntur belum berniat menikahi Nayra karena dia yakin ibunya pasti tidak menginginkannya. Dia hanya ingin membatalkan pertunangannya saja. Dan kembali sendiri dan bersenang-senang dengan Nayra, memadu kasih dengan gadis itu, bercumbu, dan melakukan hal-hal biasanya yang dilakukan oleh pasangan kekasih lain. Itu saja. Menikahi Nayra bagi Guntur hal yang mustahil, kecuali ibunya sudah tidak peduli dengannya lagi atau maaf..., meninggal. Keterlaluan. Tapi lagi-lagi, itu sikap aslinya. Dan ternyata hal yang tidak dia duga terjadi. Ibunya malah mendorongnya untuk segera menikahi Nayra. Guntur ingin bertanya alasan ibunya. Tapi sampai detik ini, ibunya tidak memberitahu alasannya.

"Ibu dapat hidayah, Gun. Sheren itu nggak tepat buat kamu. Kayaknya memang Nayra yang cocok sama kamu." Ini alasan yang didengar Guntur dari mulut ibunya. Dan Guntur tidak ingin kepo atau bertanya-tanya dengan orang-orang yang dekat dengan Bu Hanin. Bagi Guntur, menikah dengan Nayra dan melihat ibunya yang berubah lebih baik adalah dua hal yang tidak bisa dipertanyakan lagi. Dia sudah bahagia dengan dua hal itu.

Apalagi dia telah melewati malam terindah bersama Nayra semalam. Malam-malam selanjutnya tidak boleh ada yang mengganggu lagi.

Bu Hanin menyerahkan ponselnya yang berbunyi ke tangan Guntur.

"Ya, Mil?"

"Apa kabar, A?"

"Baik. Ayu?"

"Iya. Aku dan Ayu baik. Ayu dua minggu lagi ke Padang. Kalo ada waktu temeni dia."

"Tumben?"

"Aduh, A. Kok kamu cepet banget berubah. Baru nikah saja berubahnya cepat sekali. Siapa sih dia..., bisa buat kamu sampe lupa dengan Ayu,"

"Kamu juga siapa? Lo? Kamu sendiri yang larang aku ketemu dia kan?"

Bu Hanin memejamkan matanya. "Sudah, Gun. Jangan emosi. Ingat, Nay..." bisik Bu Hanin sambil mengusap-ngusap punggung besar Guntur.

"Maaf, A. Kalo aku ganggu."

"Iya. Aku maafkan."

"Aku cuma mau ngabarin tentang Ayu."

"Apa yang membuat kamu tiba-tiba ngomongin Ayu? Kenapa sekarang? Kenapa nggak dari dulu?"

"Duh, A. Kamu berubah banget. Kita bisa ngomong baik-baik kan?

"Aku tanya kenapa kamu tiba-tiba nyinggung Ayu? Kamu yang kurang ajar. Ini bukan cara baik-baik!"

Terdengar helaan napas di ujung sana.

"Nggak suka aku senang? Ha? Nggak senang aku nikah, happy?"

"Bukan itu, A,"

"Trus apa? I've just been married. I fucked my wife last night. It was really good. She is even better than you. I am really grateful that we're divoced. Because I found someone who cares my life."

Bu Hanin menghela napas. Wajar putranya kesal. Dia sudah dikhianati. Masih ingat delapan tahun lalu saat Guntur pulang dari Los Angeles. Dia kurus sekali. "Bu. Aku cerai..., bulan depan aku resmi duda..." Bukan main sedih hati Bu Hanin. Selama empat tahun tidak ada kabar buruk mengenai pernikahan anaknya, tiba-tiba Guntur seakan tersungkur di hadapannya waktu itu, memohon memberinya kekuatan. Guntur hampir saja kehilangan arah, tidak ingin melakukan apapun. Perceraian itu benar-benar membuatnya terpukul, hingga sikapnya pun berubah.

"Maaf, A. Aku cuma ngasih tau kabar Ayu saja. Kalo Aa ada waktu, temeni dia di Padang. Pasti dia senang..."

"Terserah,"

Guntur menutup panggilannya.

"Hah. Nggak ngerti ibu jalan pikiran Bu Mila yang pintar merayu itu. Sok sok suaranya dibuat-buat sendu. Tapi licik," komen Bu Hanin seraya meraih ponselnya dari tangan Guntur.

"Udah..., kamu lebih baik cerita ke Nay. Nggak baik kalo masalah kamu pendam sendiri. Kamu kan kepingin senang-senang toh? Katanya habis dari Leiden mau ajak Nay jalan-jalan..."

Guntur masih murung. Ini benar-benar di luar dugaan.

"Berat, Bu. Kasihan Nayra. Dia sudah banyak nanggung derita sebelumnya. Dari aku yang nabrak dia dulu. Bertengkar dengan ibu. Sekarang malah ada yang mulai ganggu. Walaupun Mila berurusan denganku, tetap saja sasarannya ke Nay."

Bu Hanin menggenggam tangan Guntur. Dia amat membenarkan ucapan Guntur. Nayra sudah banyak menanggung masalah, terutama datang dari keluarganya. Duh, seandainya Guntur tahu jika mantan tunangannya hampir saja hendak menghabisi nyawa Nayra, mungkin bisa lain ceritanya. Bisa jadi Guntur bahkan belum menikahi Nayra sekarang, karena pasti Guntur tidak ingin Nayra terluka.

Bu Hanin menghela napas berat. Masalah Sheren memang sudah kesepakatan dirinya dengan Anggiat. Bahwa apapun yang berkaitan dengan Sheren, Anggiat yang pasang badan. Karenanya Bu Hanin bertambah yakin Guntur dan Nayra pasti bahagia, juga bisa membahagiakan dirinya.

"Yah..., meski ibu nggak pernah di posisi kamu, Gun. Ibu nggak pernah merasakan bercerai. Yang pasti ibu tau itu sulit bagi kamu. Tapi, menurut ibu, sebagai perempuan. Kita tuh yo seneng sama pasangan kita yang berterus terang. Meski pahit. Kayak almarhum bapakmu, akhirnya mengakui kalo dia pernah kasih kebun sawit ke adiknya dulu waktu kita susah..., dia diam-diam saja, nggak kasih tau ibu. Trus akhirnya dia nggak tahan, akhirnya cerita juga. Ibu yo marah-marah. Tapi setelah itu ya ibu sadar, mungkin bapakmu segan sama ibu karena ibu suka misuh-misuh..., suka nekan-nekan. Dia ora wani sama ibu. Tapi sejak dia terus terang begitu, ibu yo seneng, ibu ngerasa dia tuh memang sayang dan butuh ibu. Lah, kalo diem-diem..., bohong..., nutup-nutupin sesuatu, kamu anggap Nay opo? Patung? Dia bojomu lo..."

Bu Hanin mengusap-ngusap bahu Guntur.

"Kamu kan berumah tangga dulu juga nggak lama, Gun. Belum pengalaman juga. Empat tahun..., itu masa ombang ambing, masa-masa pengen menang sendiri. Minimal yo lima tahun, kalo dah lewat..., bisa kuat. Ibu kepingin kamu tu seneng. Nggak sedih terus kayak yang sudah-sudah."

Bu Hanin mengusap dahinya sejenak. "Ibu jadi berat ninggalin kamu, Gun."

Wajah Guntur terlihat tenang ketika mendengar nasihat ibunya. Agak menyesal memarahi Mila barusan. Seharusnya dia bisa menahan emosinya.

"Ibu kalo punya urusan..., nggak papa pulang. Masalah Nayra..., aku bisa atasi sendiri."

"Ya sudah kalo begitu. Kamu kalo ada apa-apa. Ibu mohon ngomong sama ibu. Kasih kabar..., jangan kayak dulu. Nggak pernah ngasih kabar..., bertahun-tahun, nggak taunya malah bubar."

"Inggih, Bu..."

"Inggihmu dari dalam hati, Gun?"

"Inggih..."

Bu Hanin tertawa kecil melihat wajah Guntur yang tampak memelas.

***

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang