37. Petaka Nayra

31.3K 2.5K 35
                                    

Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Nayra masih sibuk mencuci baju-baju di area belakang rumahnya. Bunyi gemericik air dan hempasan baju terdengar jelas dari sana.

"Lho, Nay? Hari ini nggak kerja?" tanya Bu Ola yang muncul dari dapur. Dia tengah membawa peralatan makan dan periuk kotor ke tempat cucian yang berada di sisi Nayra duduk.

"Nggak, Bu. Ada Bu Hanin, ibunya Pak Gun. Sama tunangannya juga..., jadi ya aku di rumah aja," jawab Nayra diiringi tawa renyahnya.

Bu Ola tersenyum melihat putrinya. Nayra sepertinya sudah sangat pasrah dengan keadaan. Dia juga tidak sedih lagi.

"Ibu kira karena kamu udah dikasih uang banyak. Jadi nggak perlu kerja..." sela Bu Ola disertai kekehan.

Nayra tertawa keras kali ini.

"Yah, nggaklah, Bu. Paling kalo Pak Gun sudah nikah, baru aku undur diri," sanggah Nayra sambil terus menggilas pakaian-pakaian. Dia tatap ibunya dengan senyum manisnya.

Bu Ola menggelengkan kepalanya. Ini yang membuatnya kuat bertahan dengan statusnya sebagai orangtua tunggal buat anak-anaknya. Memiliki anak-anak mandiri dan kuat mental. Tak pernah menyerah dengan keadaan, tak pernah mengeluh, saling sayang pula. Terutama Nayra, gadis itu adalah penyemangat dirinya untuk terus bekerja, meski Nayra seringkali melarangnya.

Tiba-tiba muncul Farid yang membawa ponsel Nayra yang masih berdering.

Nayra mendelik ke arah Farid. Ada tanya di raut wajahnya.

"Dari Pak Gun...," ujar Farid seraya menyerahkan ponsel ke Nayra.

Nayra lalu melap tangannya yang basah ke roknya sebelum meraih ponsel dari Farid.

"Ya, Pak?" tanya Nayra tanpa basa basi.

"Lho, Nay? Kok nggak datang ke kamar saya hari ini? Tadi saya nelpon Mbok Min. Katanya kamu nggak datang,"

"Lha..., kan ada Bu Hanin, Pak,"

Terdengar tawa Guntur di seberang sana.

"Udah pulang dari siang. Ibu saya nggak lama tadi di sana. Datang ya?"

"Bapak masih ngantor?"

"Masih. Sibuk hari ini. Oiya, Nay. Nanti buka laci meja kerja saya, ada surat buat Farid. Jangan dibuka dulu, ya? pulang nanti baru kamu kasih dia...,"

"Iya, Pak. Akan saya ambil...,"

Nayra langsung bangkit dari duduknya. Sejenak ditatapnya ibunya yang sedang mencuci piring di dekatnya.

"Bu...," desahnya ragu.

"Udah..., biar ibu yang selesaikan. Kamu pergi saja."

***

Sebelum memasuki kamar Guntur, Nayra sempat dicegat Mbok Min dan Bu Sari. Mereka berulang-ulang mengucapkan terima kasih ke Nayra yang sudah sudi membantu mereka membersihkan dan merapikan rumah, terutama membersihkan kristal-kristal. Sama sekali tidak ada keluhan dari mulut Bu Hanin hari itu. Mungkin kali ini karena dia datang dengan calon menantunya yang sangat cantik. Sehingga dirinya terfokus dengan sang calon menantu.

Nayra sendiri seperti biasa membersihkan dan merapikan kamar Guntur dengan semangat. Dia tata kamar itu dengan kreasi sendiri agar Guntur tidak merasa bosan dengan keadaan kamarnya, juga merasa nyaman.

Namun dirinya sempat galau ketika pandangannya tertuju ke lampu meja di sisi pintu kamar. Dia tidak melihat kertas brosur itu lagi. Dadanya pun sesak membayangkan Guntur yang akan menikah dalam waktu tidak lama lagi.

Kemudian pandangannya mengedar ke seluruh penjuru kamar Guntur. Ini akan menjadi kenangan terindah bagi hidup Nayra. Pernah menjalin kasih degan pria yang sangat dia cinta.

Galau Nayra pun hilang. Baginya sekarang, pernah mengalami jatuh cinta saja sudah cukup membuatnya bahagia.

Nayra yang sudah selesai dengan kerjaannya, melangkah menuju meja kerja Guntur. Sebelumnya Guntur mengingatkannya bahwa ada surat buat Farid. Nayra yakin pasti ada kabar gembira buat adiknya.

______

Bukan main Bu Hanin terkejut saat Nayra dengan santainya ke luar dari kamar Guntur setelah menguncinya.

Nayra pun tak kalah kaget melihatnya. Ada Sheren juga di belakang Bu Hanin.

"Kamu siapa? Berani-beraninya masuk kamar anak saya?" tanya Bu Hanin setengah berteriak. Dia sama sekali tidak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Seorang gadis manis berkulit gelap ke luar dari kamar sang putra kesayangan.

Bu Hanin ternyata kembali lagi ke rumahnya, karena tasnya masih tertinggal di kamarnya. Padahal dirinya sudah dibawa Pak Johan hampir mendekat ke rumah yang didiaminya. Mau tak mau Pak Johan memutar balik mobilnya menuju rumah Bu Hanin yang didiami Guntur.

"Saya Nayra, Bu. Yang bersihin kamar Pak Gun...," jawab Nayra cemas. Dia dekap surat titipan buat adiknya kuat-kuat.

Sementara Sheren yang di belakang Bu Hanin menatapnya penuh curiga.

"Tanpa seizin saya?" ketus Bu Hanin. Suaranya melengking. Nayra sampai bergidik mendengarnya.

"Pak Gun yang menyuruh saya, Bu," jawab Nayra gemetar.

Bu Hanin menatap Nayra tajam.

"Kamu bukannya yang nagih nagih itu? Ha? Yang dulu pernah bekerja di sini?"

Nayra mengangguk takut-takut.

"Berikan kunci kamar anak saya!" perintah Bu Hanin. Wajah galaknya sangat menakutkan.

"Jangan, Bu. Kata Bapak saya nggak boleh kasih ke siapa-siapa..." tolak Nayra. Dia pegang kunci kamar itu kuat-kuat.

"Berani kamu? Ini rumah saya! Berikan!" Suara Bu Hanin menggelegar.

Nayra berusaha menahan tangannya yang mulai ditarik Bu Hanin.

"Jangan, Bu...," elak Nayra memohon. Dia terus mengingat pesan Guntur.

"Apa-apaan, kamu! Beraninya kamu! Kamu bukan siapa-siapa. Pembantu saya juga bukan! Lancang kamu ya? Berikan kuncinya!"

Nayra terus menahan tangannya yang ditarik-tarik Bu Hanin.

Melihat Bu Hanin kesusahan meraih kunci dari tangan Nayra, Sheren akhirnya turut membantu Bu Hanin menarik tangan Nayra.

Nayra terus meronta.

"Jangan...," rintihnya menunduk hingga surat yang dia pegang itu remuk. Nayra terus berusaha bertahan.

Tiba-tiba Bu Sari tergopoh-gopoh menuju mereka. Dia pun berusaha melerai tarik-tarikan antara Nayra, Bu Hanin, dan Sheren.

"Sudah, Bu..., Sudah..., ya ampun..."

Bu Sari langsung menarik tangan Nayra yang berdarah karena menahan kunci kamar Guntur.

"Nay..., sini," suruhnya sambil membawa Nayra menjauh dari amukan Bu Hanin.

Bu Hanin tersentak melihat Bu Sari yang bergegas membawa Nayra ke luar dari rumah.

"Hei! Apa-apaan kamu? Kamu juga bersekongkol ha?" teriaknya kencang.

Bu Sari terus menarik tubuh Nayra menuju ke luar rumah meninggalkan Bu Hanin yang masih mengumpat-umpat.

"Nay..., kamu pulang..., ini bisa lebih gawat. Pulang cepat. Biar ibu yang jelaskan ke Bu Hanin,"

Nayra menatap wajah Bu Sari. Dia ikut khawatir.

"Maaf. Bu," ucapnya lirih.

"Nggak papa, Nay... kita tanggung resiko sama-sama...,"

Nayra semakin khawatir.

"Ini, Bu. Kunci kamar Pak Gun. Bilang ke Pak Gun. Hari ini hari terakhir aku bersihkan kamarnya," ujar Nayra sambil menahan sakit di tangannya.

"Nay...," desah Bu Sari.

Sesak dadanya melihat Nayra yang berjalan cepat menjauh dari rumah Guntur. Nayra terus mendekap surat titipan Pak Guntur buat adiknya dengan tangan yang berdarah-darah.

_____

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang