50. Lamaran

33.8K 2.8K 63
                                    

Nayra sudah cantik sekarang. Kebaya yang dia pakai ternyata sangat pas di tubuhnya yang langsing. Teman-temannya pun berdecak kagum melihat penampilan Nayra malam itu, ditambah make up wajahnya yang disesuaikan dengan warna kulit tubuhnya yang eksotis. Dia manis sekali.

Terutama Mbok Min. Dia terlihat haru saat Nayra sudah duduk manis di tengah-tengah tamu perempuan. Terbayang di benaknya setiap pagi Nayra mengayuh sepedanya, mendengarkan curhatannya, bertengkar, adu mulut. Lalu terbayang wajah sewot Nayra yang khas...

"Kenapa, Min? Kok kamu sedih?" tanya Bu Sari yang duduk di sampingnya. Dilihatnya wajah Mbok Min yang sendu menatap Nayra.

"Nayra nggak jual jamu lagi, Bu ee,"

"La? Tapi kita kan nanti serumah. Piyee?"

"Iyo yo. Tapi aku kok ya kangen Nayra dulu...,"

"Halah, kamu itu. Dia nggak bakal berubah, Min. Pasti tetap jadi Nayra teman kita. Tapi kamu ya tetap rajin. Ojo males..."

_______

Nayra masih terlihat syok dan gugup, meski dia sudah cantik dengan apa yang melekat di tubuhnya. Apalagi saat mendengar suara-suara ramai di depan teras rumahnya. Rombongan keluarga besar Guntur sudah tiba. Dia terus berusaha mengatur rasa gugupnya yang kian bertambah. Nayra ingin sekali acara lamaran ini cepat berakhir.

Berbeda dengan ibunya yang duduk di sampingnya. Bu Ola terlihat lebih tenang. Dia yang menyadari Nayra yang sangat tegang, cepat meraih tangan Nayra yang terluka, seakan ingin mengatakan: Tidak sia-sia kamu berkorban, Nak. Laki-laki pujaanmu itu tak lama lagi akan kamu miliki. Kamu nggak akan gelisah lagi.

Bu Ola juga sangat bangga melihat Farid yang berdiri tegap di samping Pakde Satya di sisi pintu depan, hendak menyambut keluarga besar Guntur yang sudah siap-siap memasuki rumah.

Lalu tak lama kemudian, beberapa rombongan keluarga besar Bu Hanin satu persatu mulai memasuki rumah. Hampir masing-masing mereka membawa seserahan, berupa makanan, juga peralatan kecantikan perempuan. Jumlahnya cukup banyak, hingga memenuhi ruang depan.

Nayra sudah tak sanggup lagi menahan harunya. Juga Bu Ola. Tak pernah rasanya disanjung dan dihormati seperti ini. "Ya Allah, Nak. Kok rasanya ibu jadi segan...," gumam Bu Ola berbisik. Terlalu berlebihan baginya saat melihat banyaknya seserahan yang dibawa pihak keluarga Bu Hanin. Apalagi mereka yang yang membawanya berpakaian sangat mewah, cara bersikap keluarga besar Bu Hanin pun sangat elegan. Mereka sama sekali tidak menunjukkan keangkuhan.

Dan mereka mulai memandang wajah Nayra yang tersenyum gugup dengan pandangan ramah. Ini sangat di luar dugaan.

Beberapa saat setelahnya, barulah muncul Guntur dan ibunya. Guntur sangat gagah dengan batik yang melekat di tubuh tingginya. Ibunya pun tak kalah cantik dengan gaun putih panjang nan longgar, dipadu dengan selendang putih yang dia selempangkan di lehernya. Sangat pas dengan kulitnya yang putih mulus.

Bu Hanin sangat bersinar malam itu, senyumnya terus merekah melihat orang-orang yang tampak menyambutnya dengan senyum hangat. Dia terlihat sangat puas dan bahagia.

Dan acarapun dimulai dengan kata sambutan dari tuan rumah yang disampaikan oleh Pakde Satya.

Pakde Satya memang sudah terbiasa menyampaikan kata sambutan, khususnya acara-acara hajatan di lingkungan sekitar. Dia bahkan sempat berkelakar di tengah-tengah kata sambutannya, karena dia ingin suasana acara lamaran tersebut relaks dan santai, tidak menegangkan.

"Saya sangat mengenal Pak Guntur sebagai pelanggan pecel lele saya yang paling ganteng. Hehe..., terus terang, Pak Guntur. Waktu Bapak makan di warung saya, saya pulang cepat. Sejam nggak lama Pak Gun pulang karo Nayra, dagangan saya habis tak bersisa... Biasane malam minggu, saya pulang jam dua pagi lho, Pak."

Tentu saja hal ini mengundang senyum orang-orang yang hadir. Tak terkecuali Nayra. Dia tersenyum malu.

Tampak Guntur menoleh ke arahnya, mereka berdua pun saling lempar senyum, mengenang malam minggu pertama yang mereka lalui. Mungkin itulah malam minggu terindah bagi keduanya.

"Halaaa, Nay. Malam minggu kok di pecel lele. Hadoh, ono ono wae..." gumam Bu Sari disertai kikikan teman-temannya yang duduk di dekatnya.

Setelahnya, tentu saja ada kata-kata yang disampaikan dari pihak keluarga Guntur. Suara Pak Anggiat yang besar dan terdengar tegas ini cukup membuat orang-orang yang hadir terperangah. Maklum, sebagai pengacara professional, Pak Anggiat sudah terbiasa berbicara di depan orang-orang dari berbagai kalangan, baik kalangan biasa maupun luar biasa.

"Saya pribadi memang belum mengenal Nayra, tapi saya yakin, Nayra adalah gadis satu-satunya yang mampu meruntuhkan hati Guntur yang selama ini kaku. Maklum, 'keponakan' saya yang satu ini cukup lama menduda. Kurang lebih delapan tahun. Delapan tahun...," Anggiat tampak berpikir.

"Duh..., lama juga yaaa?" gumamnya seraya melirik Guntur yang tersenyum-senyum mendengar kata sambutannya. "Saya tak sanggup pun menduda selama itu..." lanjutnya disambut gelak tawa tamu yang hadir.

"Jadi kami berharap lamaran keponakan kami ini diterima," tutup Anggiat.

______

Acara lamaran berlangsung sukses. Satu persatu tamu mulai pamit pulang. Mereka senang, karena acara lamaran Nayra penuh dengan canda tawa, terutama mengenai status duda delapan tahun Guntur yang disinggung Pak Anggiat yang kini menjadi pembicaraan. Ditambah usia mereka yang terpaut cukup jauh, dua puluh satu tahun. Namun, mereka tetap memberi pujian terhadap Guntur, meski usianya tidak lagi muda, tapi sikap dan penampilannya cukup membuat kaum ibu-ibu mesem-mesem. Apalagi status dirinya sebagai dosen kampus internasional, berasal dari keluarga berada pula. Mereka salut dengan diri Guntur yang mau menjadikan Nayra yang hanya seorang tukang jamu keliling bahkan sempat menjadi pembantu sebagai pendamping hidupnya.

"Duh..., Nay..., Nay. Mimpi opo kowe, Nay," gumam Mbok Min sambil menyusuri air mata harunya.

Malam itu Bu Hanin terlihat betah berada di rumah Nayra. Dia masih saja duduk di ruang tengah sambil bercakap-cakap dengan Bu Ola dan teman-temannya. Wajah-wajah kagum menatap Bu Hanin yang meski usianya sudah hampir memasuki kepala tujuh, tapi masih saja cantik dan awet muda. Kulitnya saja masih kencang, bak perempuan tigapuluhan.

Sementara Guntur dan Nayra duduk berdua di kamar Nayra yang pintunya sengaja dibuka. Keduanya saling tatap penuh kerinduan. Terutama Guntur, dia sangat lega dengan keadaannya sekarang. Tak lama lagi, dia akan menikahi perempuan pilihannya.

"Kok cepet banget, Pak?"

"Apanya?"

"Melamar saya..."

"Emang maunya kapan?"

Nayra tertunduk. Dia malu sekali.

"Mau cepet kan?"

Nayra mengangguk malu-malu.

"Biar cepat tenang. Saya juga punya jadwal ngajar lebih banyak semester depan. Bulan depan saya juga harus berangkat ke Leiden. Rencana mau ajak Farid. Kamu tinggal nggak papa ya?"

Nayra mengangguk pasrah. Duh, baru dilamar kok malah mau ditinggal.

"Bisa saja ikut, Nay. Tapi banyak yang mau diurus. Pelan-pelan. Yang penting, kita menikah dulu...,"

Sesak dada Nayra mendengar kata-kata menikah dari mulut Guntur. Rasanya seperti mimpi, seperti baru saja mengenal duda itu kemarin, tapi kini malah akan menjadi suaminya.

"Saya sayang kamu, Nayra. Saya nggak bisa bayangkan hidup saya jika senyum kamu nggak saya lihat di hari-hari saya ke depan..., saya mau setiap saat selalu lihat senyum kamu..., biar hari-hari saya semangat dan nggak kerasa hampa."

Nayra menyenderkan kepalanya di bahu Guntur. Dia bahagia sekali malam itu.

***

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang