32. Won't Let You Down

36.2K 2.7K 146
                                    

Nayra sudah mantap pergi kerja sore pukul tiga. Sebelumnya jika dia hanya berjalan kaki ke rumah Guntur, kini dia mengendarai sepeda jamunya. Tapi tentu saja kotak dagangan dia pisahkan dulu.

Nayra sudah bersikap biasa lagi. Dia tidak ingin berlarut-larut tenggelam dalam perasaan gamang atau gundah atas pertemuannya bersama Farid di ruang kerja Guntur kemarin. Dia tetap semangat. Setelah mengobrol bersama Farid, meski sempat sedih, tapi ketika sang Ibu pulang dan membawa banyak makanan, Nayra sudah sumringah kembali. Dan Farid senang melihatnya.

Sesampainya di kamar Guntur, Nayra tetap semangat mengerjakan tugasnya. Kali ini pekerjaannya terasa amat ringan, karena pekerjaan utamanya membereskan buku-buku sudah dia kerjakan. Dia tidak perlu lagi mengelap-ngelap debu tebal dengan perlahan atau repot menaiki tangga. Yang penting, kaca lemari tetap mengkilat, agar buku-buku indah dipandang.

______

Nayra kini sudah siap-siap pulang, dia sudah berada di sisi pintu kamar. Tiba-tiba pandangannya tertuju ke sebuah kertas brosur yang tergeletak di bawah gagang lampu meja. Diraihnya kertas itu. Ternyata kertas brosur tersebut adalah brosur fitting baju pengantin. Dan jadwal Guntur adalah hari ini.

Nayra lemas. Dia semakin cemas. Tapi cepat-cepat dia usir perasaan tidak enak itu. Dikembalikannya lagi kertas itu ke tempat semula.

Setelah menghempaskan napas pendek, dia buka pintu kamar.

Ada Guntur yang baru saja pulang dari kantor berdiri di hadapannya.

"Eh, Pak..., pamit," ucap Nayra dengan senyum manisnya.

Guntur meraih tangan Nayra. "Nanti, Nay..., saya baru saja sampai," cegah Guntur.

"Udah sore, Pak. Nanti ibu saya khawatir. Pekerjaan saya juga sudah selesai...," tanggap Nayra.

"Nantilah. Temani saya dulu," Guntur tetap memaksa.

Nayra tidak tega melihat melas wajah Guntur akhirnya menurut. Diraihnya tas dan jas yang Guntur serahkan ke dekapannya.

Guntur langsung menuju tempat tidurnya setelah memerintahkan Nayra menutup pintu dan menguncinya.

"Bisa pijet saya, Nay? Saya lelah. Seharian tidak berhenti mengajar," pinta Guntur yang terduduk di tepi tempat tidurnya. Raut wajah Guntur memang tampak lelah.

Nayra yang sedang menggantungkan jas di dalam lemari tampak menghela napas panjang. Wajahnya sendu. Ini yang tidak dia inginkan sama sekali. Tapi suara melas Guntur lagi-lagi membuatnya terenyuh. Rasa sayang terhadap Guntur perlahan menyusup dirinya. Dia kesampingkan pikirannya tentang jadwal fitting baju pengantin Guntur.

"Iya, Pak...," jawab Nayra akhirnya setelah meletakkan tas Guntur di atas meja kerja. Lalu dia melangkah mendekat Guntur.

Nayra langsung menundukkan tubuhnya di hadapan Guntur, hendak melepas alas kaki Guntur. Sepertinya, tanpa diperintah, Nayra sudah tahu apa yang diinginkan kekasihnya itu. Melepas semua yang melekat di tubuh putih itu, hingga meninggalkan boxer saja.

Wajah Nayra biasa saja, tidak menunjukkan kaget atau bagaimana. Senang atau tidak. Entah kenapa dia tidak merasa canggung lagi ketika melihat tubuh Guntur tidak berbusana. Padahal saat itu adalah pertama kalinya dia melihat tubuh polos laki-laki.

Guntur menerungkupkan tubuhnya. Dirinya sudah pasrah akan disentuh tangan mungil Nayra.

"Kamu kok bawa sepeda, Nay?" tanya Guntur berseru ke Nayra yang sedang berada di dalam kamar mandi hendak mengambil minyak zaitun yang ada di kotak P3K.

"Biar cepat sampe rumah, Pak," jawab Nayra yang sekarang sudah duduk bersimpuh di sisinya.

"Kan bisa saya antar sampai rumah,"

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang