31. Curiga Tata

30.6K 2.5K 13
                                    

Tata melempar jaketnya ke atas tempat tidur sebelum menghempaskan tubuhnya di atasnya.

"Hei, Ren..." Dia menghubungi Sheren, sahabatnya.

"Sori, Ta. Gue lagi sibuk nih. Biasa endorse produk skincare..., bentar ya?"

"Hm..., eh, gue baru dari kantor tunangan lu. Gue liat ada cewek...,"

"Apa?"

Sepertinya Sheren malah tertarik dengan apa yang dikatakan Tata barusan. Terdengar suaranya sedang berucap sebentar, sebentar ke orang-orang yang berada di dekatnya.

"Ya, Ta?"

Tata memperbaiki rebahnya.

"Tadi gue baru aja dari kantor Guntur. Nyerahin laporan akhir kuliah gue. Gue wisuda semester ini...,"

"Bukannya tadi lu bilang ada cewek di kantornya dia barusan?"

Tata mengacak rambutnya sendiri. Wajahnya sedikit merengut.

"Ck..., lu bukannya seneng gue mau wisuda, Ren. Malah mikir diri lu sendiri...," rutuknya.

"Iya, iya. Soriii, eh selamaaaaat Tataaaa,"

Tata mulai senyum. Suara Sheren sangat renyah di telinganya.

"Jadi gue liat cewek. Namanya Nayra. Diliat dari penampilan bukan anak kuliahan sih. Hm..., dekil gitu," Tata menggigit ujung kukunya. "Manis, Ren. Pas gue ke sana gue awal-awal curiga, soalnya pas gue mainkan handle pintu kantor Guntur kayak dikunci dari dalam. Trus pas terbuka, tuh cewek yang bukain."

"Trus?"

"Ternyata ada cowok lain sih di sana. Katanya sih pacarnya. Ganteng. Tinggi juga. Sepertinya sedang konsultasi gitu dengan Pak dosen. Hm..., tapi gue liat mereka bertiga kayak akrab gitu, Ren... Nah, ternyata nih cewek temenan adik tingkat gue yang namanya Raisa. Gue ketemu Raisa juga. Dia bilang si Nayra ini pembantunya Guntur di rumah..., lu kenal nggak? Secara kan lu beberapa kali pernah ke rumahnya dia...,"

"Orangnya hitam nggak?"

"Iya...,"

"Rambut bop pendek gitu?"

"Iya...,"

"Kecil orangnya...,"

"Betul...,"

"Iya..., pernah liat pas gue jenguk Mas Guntur sakit. Dia yang antar minuman ke gue pas namu,"

"Oh..., aman kalo gitu."

"Jadi lu liat dia ke kantor Mas Gun?"

"Iyaaaaa...,"

"Hm. Kok bisa ya? Mas Gun kan paling nggak suka diganggu..., gue beberapa kali minta datang ke kantornya nggak pernah dikasih...,"

"Kayaknya antar makanan gitu. Gue liat tadi dia sedang beberes kotak-kotak makanan kosong kotor. Trus juga datangnya sama pacarnya."

Terdengar helaan napas dari ujung sana.

"Hm..., bisa jadi. Itu aja?"

"Iya...,"

"Ok, gue lanjut syuting nih...,"

"Lanjut, Ren...,"

***

Farid khawatir dengan sikap Nayra yang diam sejak pulang dari kantor Guntur. Kakaknya memang tetap bekerja dan melakukan pekerjaan rumah seperti biasa sore itu, tapi raut wajahnya tetap menunjukkan keresahan.

Farid duduk di hadapan Nayra yang sedang menggiling beras di dapur sendirian. Karena Bu Ola masih berada di rumah tetangga.

"Jadi Pak Guntur itu sudah punya tunangan ya, Kak?" tanya Farid hati-hati.

Nayra diam sejenak. Dia hentikan kegiatannya sejenak.

"Iya, Farid. Aku sudah tau Pak Gun sudah punya tunangan sebelum pacaran," jawab Nayra pelan. Nayra melirik Farid yang terlihat iba melihat dirinya.

"Nggak tau juga kenapa aku mau saja menerima ajakan Pak Gun pacaran. Mungkin karena terlalu senang, nggak ingat kalo sebenarnya dirinya sudah bertunangan awalnya. Aku juga tidak mau menyinggung tentang tunangannya itu kalo lagi berdua."

Farid menghela napasnya. Kasihan juga Nayra, gumamnya dari dalam hati. Kakaknya yang sebelumnya tidak pernah pacaran, namun sekali dia jatuh hati, malah jatuh dalam pelukan seorang duda berumur yang sudah bertunangan pula.

"Ibu tau, Kak?"

Nayra mengangguk. "Iya. Ibu bilang bersikap biasa saja. Ibu tau aku sayang sama Pak Gun. Ntar kalo Pak Gun menikah, ibu bilang mundur saja."

Nayra kembali menggiling beras.

"Apa karena aku juga, Kak? Karena kakak kan kerja di sana, trus dapat uang buat nambah biaya sekolah aku?"

Nayra tergelak. Dia menggeleng. "Nggak, Farid. Ya..., itu aku anggap bonus. Rugi juga kalo nolak. Soalnya kerjaannya nggak berat. Cuma beberes kamar Pak Gun..., lagian kan hanya beberapa minggu lagi. Kalo Pak Gun menikah, ya..., aku pasti nggak kerja di situ lagi."

Sesak dada Nayra mengucapkan kalimat terakhir, membayangkan Guntur yang akan menikah dalam waktu dekat. Apalagi mengingat percakapan antara Guntur dan mahasiswinya saat dirinya berada di kantor Guntur. Enam minggu lagi..., akan saya undang kamu...,

Nayra menyeka dahinya. Dipandangnya adiknya dengan senyum.

"Pengalaman jatuh cinta, Farid. Indah..., meski pahit."

***

NayraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang