Chapter 20

257 46 67
                                    

(Kilas balik)

"Omamama, kapan Abamama akan datang?"

"Sebentar lagi, Sayang. Sebentar lagi." Inye tersenyum dan mengusap rambut tebal putra tunggalnya.

"Ini sudah terlalu lama... Aku mengantuk!" rengek Siwan kecil sambil mengucek mata. Tak lama kemudian, mulutnya terbuka lebar dan ia menguap dengan cara yang menggemaskan.

"Tidurlah dulu. Ibu akan membangunkanmu jika ayahmu telah datang."

Kasihan. Putranya sudah terlalu lama menunggu. Siwan pasti lapar, haus, dan mengantuk. Terlebih ketika makanan dan minuman kualitas nomor satu tersaji di hadapannya tapi tak dapat dicuil sedikit pun sampai sang raja tiba.

Siwan mengangguk lalu mengikuti seorang dayang yang menuntunnya menuju ruang tidur ratu untuk istirahat sejenak.

Usai kepergian Wang Lim, Inye mengembuskan napas berat. Ia mengangkat tangan kanannya ke udara. Dayang pribadinya datang mendekat dengan kepala yang tertunduk, siap diperintahkan.

"Hangatkan lagi semua makanan di meja dan rebus air baru untuk menyeduh teh lagi," titahnya dengan sebuah senyum kecil.

Dayang itu sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya memberikan anggukan. Bukannya enggan menuruti perintah tersebut, tapi hidangan lezat di atas meja bundar itu sudah dihangatkan tiga kali sebelumnya. Ini adalah perintah keempat.

Bukan bermaksud menyulitkan para pelayan, Inye hanya tidak ingin suaminya menyantap makanan dingin dan meneguk teh yang tak hangat ketika berkunjung ke paviliunnya. Semoga saja, penantiannya hari ini tidak sia-sia seperti purnama-purnama sebelumnya.

~~~

Pagi itu cerah. Matahari menyapa hangat. Sang surya bekerja sama dengan awan hari ini. Sepertinya mereka telah berkoordinasi agar jangan sampai ada yang mendominasi langit. Waktu yang tepat untuk mengajak Siwan berjalan-jalan di taman istana.

Atau mungkin bukan.

Inye menyesali keputusannya keluar pagi itu. Seharusnya ia menghabiskan waktu dengan sang putra saja di kediamannya. Dengan begitu, Inye tak perlu bingung menjawab pertanyaan Wang Lim tentang mengapa sang ayah bermain bersama Wang Soo dan Ratu Inpyeong di dekat kolam tetapi tidak mengajaknya serta.

Wanita itu terpaku di posisinya. Sebuah pohon rindang di sampingnya tak mampu membendung sinar matahari yang mulai terasa terik. Namun kali ini mungkin bukan matahari penyebab panas di sekelilingnya. Mungkin, pemandangan ketiga orang yang tampak bahagia di tepi kolam itu.

"Omamama! Ayo kita ke sana dan main bersama!" ajak Siwan sambil menarik-narik ujung lengan panjang baju sang ibu. "Nanti aku juga mau tanya Abamama kenapa kemarin dan kemarinnya lagi tidak jadi datang."

"Kita kembali saja, Lim-ah." Inye menoleh ke putranya dan memaksakan sebuah senyuman di wajahnya.

"Tidak mau! Aku mau bertemu Abamama!"

Bahu Inye jatuh. Ia lebih mengkhawatirkan perasaan putranya ketimbang bisik-bisik para dayang yang membuntuti mereka dan hanya bisa membuat kuping makin panas. Lagipula, sudah merupakan rahasia umum bahwa sang raja lebih mencintai istri pertamanya, Permaisuri Inpyeong. Sementara Ratu Inye, hanya diboyong dari Yuan untuk mengikat diplomasi politik dengan kekaisaran besar di seberang laut sana.

Bibir mungil itu mulai mengerucut dan Wang Lim menghentakkan kaki pendeknya di atas rumput. "Sebenarnya, apa salahku? Kenapa Abamama hanya bermain dengan Soo? Apa karena waktu itu aku menumpahkan teh? Menuang tinta di atas buku? Atau..."

I Love You For A Thousand YearsWhere stories live. Discover now