Chapter 6

463 103 74
                                    

"Sudah puas?" tanya Myungsoo yang sedang berpangku tangan. Ia melirik Jiyeon yang tengah menyantap pesanannya dengan lahap.

Sang gadis menggeleng. "Wangja-nim, apakah kalian benar-benar tidak ingin mencicipnya? Ini enak sekali!" Ia menyodorkan mangkuk ke arah dua pangeran yang duduk di hadapannya itu.

"Tidak, terima kasih," jawab Siwan sambil tersenyum. "Makanlah sampai puas."

Jiyeon mengangguk lalu kembali menyumpitkan gumpalan nasi hangat ke dalam mulut kecilnya.

Myungsoo menatap Siwan dengan tatapan yang seolah mengatakan sampai-kapan-kita-harus-berada-di-sini?

Siwan membalasnya dengan pandangan yang mengisyaratkan sang adik agar lebih bersabar.

"Oh, di mana Yi Howon? Aku tidak melihatnya sejak tadi. Bukankah biasanya dia selalu berada di samping Wangja-nim?" Jiyeon mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru tempat makan indoor berarsitektur kayu itu. Ia tidak menemukan Howon, Dongjun, maupun Kwanghee di dalam. Ke mana para pengawal yang setia itu? Apakah mereka sedang berjaga di luar?

"Aku menyuruhnya untuk mencarimu tadi," jawab Myungsoo datar.

Pergerakan Jiyeon yang hendak meneguk minuman dalam gelasnya mendadak terhenti. Wang Soo sampai mengirim Yi Howon untuk menjemputnya? Entah mengapa, Jiyeon bersyukur bahwa Siwan dan Myungsoo lah yang menemukannya. Jika itu Howon, Jiyeon tidak akan berani menolak dan bahkan mungkin Howon akan langsung memboyongnya ke istana tanpa sepatah kata pun.

"Nanti juga dia akan menyusul. Howon pasti bisa menemukan kami di sini," sambung Myungsoo. Ia sendiri juga heran dengan kemampuan Howon yang agaknya selalu dapat melacak di mana pun lokasinya.

Jiyeon meletakkan kembali gelas di tangan kanannya dan berakhir dengan hanya meneguk ludahnya. Setelah apa yang terjadi di Eulhyang, Jiyeon tidak akan memungkiri bahwa betapa pun ia mengagumi Yi Howon, lelaki itu tampaknya cukup menyeramkan.

Melihat perubahan reaksi Jiyeon, Siwan langsung berkata. "Apakah kau ingin memesan makanan tambahan? Bagaimana dengan hidangan penutup?"

"Ya! Tentu!" seru Jiyeon riang.

Siwan mengangkat tangan kanannya, hendak memanggil salah seorang pelayan untuk memesan hidangan penutup. Karena banyaknya pelanggan dan hampir seluruh pekerja dialihkan ke bagian dapur, tak ada pelayan yang tidak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Ah, tampaknya mereka semua sedang sibuk, biar aku saja yang memesannya langsung ke sana," ujar Jiyeon sambil berdiri dan menunjuk ke arah pintu dapur di bagian belakang. "Apakah Wangja-nim ingin memesan sesuatu? Mungkin minuman atau makanan ringan?"

Siwan menggeleng. "Tidak perlu. Pesanlah apa saja yang kau inginkan."

"Terima kasih! Aku akan berdoa agar Wangja-nim selalu dilimpahi oleh berkah!" Jiyeon membungkukkan kepala dengan senyuman lebar sebelum berjalan riang ke bagian belakang rumah makan itu.

Siwan tertawa kecil melihat sikap Jiyeon. Pada situasi seperti ini pun gadis itu masih bisa membuatnya terhibur.

Berbeda dengan sang kakak, Myungsoo justru merasakan hal yang sebaliknya. Jiyeon selalu mempersulit keadaan. Lihatlah, berapa banyak waktu mereka yang terbuang karena menunggunya makan? Matahari sudah terbenam sepenuhnya dan mereka bahkan belum memulai perjalanan ke istana.

Sementara itu, diam-diam Jiyeon menengok ke belakang untuk melihat apakah atensi Siwan dan Myungsoo sedang tertuju kepadanya atau tidak. Setelah memastikan bahwa kedua kakak beradik itu sedang terlibat perbincangan serius, Jiyeon yang tadi berpura-pura melangkah ke dapur langsung melipir ke arah pintu keluar di belakang yang untungnya searah dengan dapur. Sang gadis berjingkat perlahan menelusuri lorong kecil yang akan membawanya ke pintu tersebut.

I Love You For A Thousand YearsWhere stories live. Discover now