Malam itu menyejukkan. Rembulan menguasai langit, memamerkan keindahannya yang anggun. Beberapa bintang turut menemani tanpa bermaksud mencuri sorotan tokoh utama yang terus-menerus dipandangi oleh tiga orang di tempat itu.
"Jiyeon, apa kau menyesal bertemu denganku? Dengan kami?"
Pertanyaan tiba-tiba yang diajukan oleh Siwan itu berhasil mencuri tak hanya atensi sang gadis, tetapi juga adik tirinya.
"Sejak bertemu dengan kami dan terpaksa harus memasuki istana, kau selalu terlibat masalah pelik. Apa kau pernah berharap tidak dipertemukan dengan kami?"
Jiyeon menunduk sejenak lalu mengulas senyum kecil nan tulus dari bibirnya yang merah muda. "Tidak, aku tidak menyesal bertemu dengan kalian. Aku belajar banyak hal dari semua yang kualami di sini. Aku merasa diriku menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya."
Siwan ikut tersenyum. Ia juga merasakan hal yang sama.
"Memang seharusnya begitu! Bisa bertemu dengan para pangeran, kan, berkah yang harus disyukuri!" celetuk Myungsoo, merusak momen reflektif itu.
Jiyeon terkekeh, memang tipikal seorang Wang Soo. "Sekarang, aku akan menanyakan hal yang sama. Apakah Wangja-nim menyesal bertemu denganku?"
Gadis itu menoleh ke kanan dan kirinya, tempat kedua pangeran itu duduk.
"Tsk, dengan gadis pembuat onar sepertimu?" decak Myungsoo lalu menggeleng-gelengkan kepala seolah mengatakan pertanyaan seperti itu tidak perlu dijawab.
"Tidak, aku tak pernah menyesali pertemuan kita. Bagiku, itu adalah takdir yang indah. Langit telah menggariskan takdir untuk mempertemukanmu dengan kami. Tanpamu, sekarang kami mungkin tidak akan duduk berdampingan dan berbincang dengan santai seperti ini."
Jawaban panjang Siwan bagaikan potongan kalimat yang diambil dari sajak. Jiyeon selalu menganggapnya cringe tiap kali kalimat semacam itu keluar dalam drama, tapi siapa yang tahu bahwa mendengarnya secara langsung dari orang yang tulus ternyata bisa menghangatkan hatinya?
"Hyungnim sedang membuat puisi atau bagaimana?" sindir Myungsoo. Gadis itu tidak mungkin terkesan hanya dengan satu dua kalimat manis seperti itu, bukan?
"Kalau Wangja-nim bagaimana? Pertanyaanku belum dijawab," tagih Jiyeon mengabaikan sarkasme Myungsoo.
Myungsoo bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk bagian bawah pakaiannya, berpura-pura sibuk menyingkirkan tanah yang menempel. "Sudahlah, ayo kita kembali. Ini sudah malam."
~~~
"Wangja-nim? Kenapa masih di luar?" tanya Jiyeon saat ingin membasuh wajah dan mendapati lelaki itu masih berada di area depan rumah—sedang berjongkok. "Belum mengantuk?"
Mereka sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu, Wang Lim tampaknya sudah terlelap di kasur, tapi dua orang ini entah mengapa belum bisa memejamkan mata.
"Meong~"
Ah... ternyata sang pangeran tidak sendiri. Ada seekor kucing berbulu abu-abu gelap yang duduk di rumput, menikmati elusan tangan Myungsoo di kepalanya.
"Uhm. Kau juga?" angguk Myungsoo. Ia bahkan belum mengganti pakaian perginya tadi.
"Aku mau membasuh wajah dulu. Kita tidak boleh tidur dengan wajah kotor, bisa gawat waktu bangun nanti. Seharusnya, sih, pakai skincare malam dulu, tapi di sini tidak ada, jadi cuci muka saja cukup seper..."
YOU ARE READING
I Love You For A Thousand Years
Fanfiction"I have loved you since a thousand years ago. I love you for a thousand years. And I will always love you for a thousand more." "You of all people must have known that I always get what I want. No matter if it takes a thousand days or a thousand yea...