Chapter 23

173 38 116
                                    


Istana sedang berbahagia. Hari ulang tahun Putri Injung selalu menjadi salah satu tanggal yang dinanti. Wang Hwi tidak pernah absen mengadakan perjamuan akbar untuk merayakan hari bahagia ini tiap tahunnya. Apabila raja menjadi tuan rumah perjamuan dengan tamu undangan para menteri, pejabat istana, dan utusan dari kerajaan lain, Putri Injung mengadakan perjamuannya sendiri yang didedikasikan untuk rakyatnya.

Satu-satunya kesempatan Injung bisa melangkah keluar dari tembok besar istana dengan bebas adalah hari ulang tahunnya. Sejak 3 tahun lalu, sang putri telah diizinkan raja untuk membagikan secara langsung bahan-bahan pokok kepada para rakyat yang tidak mampu. Tentu saja, hal ini dilakukan dengan pengawalan ketat untuk mencegah insiden tak diharapkan terjadi.

Injung tidak pernah tahu bahwa selama 3 tahun itu, ratu membarikade beberapa wilayah dan akses ke "bazar" putrinya itu agar kelompok yang membenci keturunan Yuan tidak memporak-porandakan acara. Inye tidak ingin hari ulang tahun Injung rusak karena dipaksa bubar, dilempari tanah, dan dimaki. Putrinya tidak boleh melewati hal yang sama dengannya.

"Semoga Yang Mulia Tuan Putri panjang umur dan dikaruniai anak yang banyak!" Seorang wanita paruh baya berwajah kusam memanjatkan doanya usai Injung memberinya sekarung gandum.

"Terima kasih. Semoga bibi juga sehat selalu," jawab sang putri dengan senyuman manisnya.

Jiyeon yang berdiri di samping Injung memandang gadis itu dengan takjub. Entah sudah berapa ratus kali Injung mengucap terima kasih dan balas mendoakan rakyatnya. Ajaibnya, sang putri tidak terlihat lelah sama sekali. Alih-alih memudar, senyumannya semakin melebar acapkali berhadapan dengan setiap rakyatnya. Putri yang satu ini memang luar biasa. Ketulusannya berhasil sampai ke hati rakyat. Sekarang Jiyeon tahu dari mana kabar "Putri Injung sangat cantik dan baik hati" itu beredar di masyarakat.

"Selamat ulang tahun, Gongju Mama. Aku hanya bisa memberikan ini. Aku membuatnya sendiri." Seorang gadis kecil menyodorkan sebuah boneka (yang menurut Jiyeon agak mengerikan karena rambutnya terbuat dari sabut kelapa) sebagai hadiah ulang tahun untuk sang putri.

"Tahun lalu sudah kubilang untuk tidak memberikanku hadiah, bukan?" Injung menyipitkan matanya mengingat gadis dikepang itu yang sudah bertambah tingginya beberapa senti sejak terakhir kali bertemu.

"Gongju Mama selalu memberkahi kami setiap tahunnya dengan semua ini, bagaimana bisa kami tidak memberikan sesuatu sebagai balasannya? Meskipun kecil, hamba mohon terimalah hadiah ini." Ibu dari gadis kecil itu menimpali.

Injung tersenyum dan mengambil boneka tersebut. Ia meletakkannya di meja belakang, bersama tumpukan bunga, norigae murah, dan kue-kue buatan rumah yang diterimanya.

"Kau lelah?" tanya Siwan yang berdiri di sisi kiri Jiyeon. Ia ditugasi untuk membagikan jahe oleh sang adik.

Capek, sih. Jiyeon tidak tahu kapan antrean panjang ini berakhir. Entah sudah berapa jam mereka di sini. Namun, rasanya kurang ajar apabila mengeluhkan hal itu di hadapan para pangeran dan putri yang bahkan tidak menggerutu. Dunia akan lebih baik apabila memiliki pemimpin tulus seperti mereka, bukan?

"Tidak, Wangja-nim," ucap Jiyeon dengan senyum lalu segera kembali ke pekerjaannya yang sempat terhenti.

Wang Soo yang berdiri di kanan Injung, mendistribusikan garam sambil sesekali melirik Jiyeon, hendak memastikan sang kakak tidak berinteraksi berlebihan dengan gadis itu.

"Wangja-nim, apakah Yang Mulia mau membeli ramuanku?"

Atensi Myungsoo teralih kala seorang pria dengan tangannya yang kasar menyodorkan sebuah botol kecil berisi cairan tanpa warna. Itu adalah pria yang baru saja menerima garamnya.

I Love You For A Thousand YearsWhere stories live. Discover now