"Jika kami diperintahkan untuk membawa saksi mata ke hadapaan Abamama, maka izinkanlah putramu ini meminta satu hal," ucap Siwan sambil menundukkan kepalanya.
Sang raja menoleh ke arah anak lelakinya tersebut. "Apa yang kau minta?"
Wang Lim mendongakkan kepalanya dan berujar, "Saya ingin meminta agar Yongsan juga membawa anak buahnya yang menjadi saksi mata saat kejadian itu." Meskipun kepalanya menghadap lurus kepada sang ayah, sudut matanya memerhatikan gerak-gerik si perdana menteri.
Myungsoo menimpali usul bagus sang kakak dengan nada yang mendukung. "Jika kami harus membawa saksi mata, maka cukup adil apabila pihak Yongsan juga membawa saksi matanya, Abamama."
Soyeon angkat bicara mendukung kedua kakak lelakinya. "Ye, Abamama. Dengan begitu, Ayahanda dapat mendengarkan ceritanya dari dua sudut pandang sebelum membuat keputusan."
Setelah menimbang selama beberapa saat, akhirnya Wang Hwi pun mengangguk setuju. "Baiklah. Yongsan?"
"Hamba mendengarkan, Yang Mulia," jawab sang perdana menteri dengan kedua tangan yang disatukan di depan.
"Bawalah saksi matamu ke hadapanku."
"Hamba akan mematuhi perintah Yang Mulia." Yongsan membungkukkan kepalanya dengan hormat. Ia sudah memperkirakan hal ini akan terjadi sehingga dirinya tidak kelabakan. Hanya saja, Yongsan tak menyangka bahwa yang meminta hal tersebut adalah sang pangeran dan bukannya raja. Saat menundukkan kepalanya itulah ia melirik ketiga anak raja yang tengah berlutut itu.
Wang Lim, Wang Soo, Injung... Apakah kalian sedang mencoba melawanku? Saksi mata yang kubawa takkan memengaruhi hasilnya. Saksi mata kalianlah yang akan menentukan keputusan raja.
~~~
"Lim-ah?"
Siwan menoleh begitu dirinya yang sudah menuruni tangga dari kediaman sang raja dipanggil oleh ibunya. "Ye, Omamama?"
"Kenapa kau tampak sedang terburu-buru?" tanya Inye yang masih berada di atas, belum berniat menginjakkan kaki di anak tangga pertama. Di samping kanannya, selangkah di belakang sang ratu, Injung berdiri dengan tangan yang saling bertaut di balik lengan panjangnya. "Luangkan waktumu untuk minum teh dengan ibu petang ini. Kita bisa mendiskusikan hal-hal yang belum sempat kita bahas hari ini," ajaknya dengan senyuman dan nada yang mendesak.
Siwan menundukkan kepalanya sebagai bentuk permintaan maaf. "Mohon maaf, Omamama. Seperti apa yang dikatakan Abamama, saya harus segera membawa saksi mata itu ke istana."
"Kau bisa mencarinya setelah ini," bujuk sang ibu masih dengan senyuman di wajahnya.
"Sebentar lagi matahari akan terbenam, kami harus bisa menemukan saksi mata itu sebelum gelap," jawab Siwan dengan nada sopan walau hatinya sudah was-was ingin segera mencari Jiyeon. Masalahnya, gadis bernama Jiyeon itu bagaikan kutu loncat yang posisinya tidak menentu. Terkadang berada di tempat A, kadang pula berada di tempat B, atau justru tidak ditemukan di mana pun.
"Apakah saksi mata itu lebih penting daripada ibumu?" Inye mengeluarkan kalimat andalannya. Biasanya, jika sudah seperti ini, anak-anaknya akan menuruti setiap perkataannya.
"Kita bisa minum teh selama yang ibunda inginkan setelah masalah ini selesai. Sekali lagi, mohon maafkan kelancangan putramu ini, Omamama. Saya pergi dulu." Siwan memberi penghormatannya lalu berjalan keluar dari kompleks kediaman sang ayah, menyusul Myungsoo yang sedang memberikan perintah kepada Howon.
YOU ARE READING
I Love You For A Thousand Years
Fanfikce"I have loved you since a thousand years ago. I love you for a thousand years. And I will always love you for a thousand more." "You of all people must have known that I always get what I want. No matter if it takes a thousand days or a thousand yea...