Wang Soo meringis ketika bagian tajam pisau mengenai telunjuk kirinya. Tangan kanannya melepas pisau tersebut dan mulutnya refleks mengisap darah yang menetes keluar dari luka itu.
Huek, campuran asin dan amis ikan laut.
Wang Soo memulai pekerjaan sebagai tukang potong ikan sejak kemarin sang kakek menyuruhnya bekerja. Kemampuan memegang pedangnya ternyata bisa berguna juga. Ia bahkan bisa menyombongkan diri karena setelah berkeliling pasar kemarin, kakaknya belum mendapat pekerjaan. Satu-kosong.
Baiklah, mari kembali ke lukanya. Myungsoo meludahkan darah yang diisapnya ke tanah. Campuran rasanya bikin perut mual karena jemari telanjangnya terus menyentuh ikan-ikan mentah (kadang ada yang masih megap-megap) yang baru ditangkap nelayan.
Tidak, bukan karena rasa darahnya yang memuakkan atau perih karena goresan pisau di jemarinya Myungsoo mengerutkan kening. Entah mengapa, perasaannya mendadak tidak enak.
Lelaki itu menelan salivanya. Semua baik-baik saja, bukan? Myungsoo tidak ingat kapan terakhir kali ia mendapat firasat buruk seperti ini. Semoga saja itu bukan pertanda apa-apa.
Sesampainya di kediaman kakek sore itu, Myungsoo memamerkan buah tangannya kepada Jiyeon yang sedang berkebun. Bunga-bunga itu seharusnya malu, cantiknya kalah dengan sang gadis.
"Lihat aku bawa apa!" serunya penuh kebanggaan.
"Wangja-nim! Sudah pulang?" sapa Jiyeon dengan sumringah. Tampaknya mood gadis itu sedang baik hari ini.
Hatinya menghangat. Sejenak, perasaan tidak enak itu sirna. Myungsoo senyum-senyum sendiri, merasa seolah kepulangannya disambut oleh seorang... ehemm. Namun, tentu saja yang ditampilkan di depan adalah jiwa kerennya.
"Atasanku bilang aku boleh membawa pulang 3 ikan ini karena hasil tangkapan semalam lebih banyak dari biasanya." Myungsoo mengangkat sebuah karung yang berisi ikan besar yang telah dipotongnya menjadi beberapa bagian.
"Wuah! Hebat!" Jiyeon bertepuk tangan dengan riang gembira. "Jadi, malam ini kita makan ikan? Harabeonim pasti senang!"
Myungsoo mengangguk dengan senyum bangga.
"Aku bisa memasaknya!" tawar Jiyeon dengan murah hati sambil mengulurkan kedua tangannya ke depan, meminta karung ikan itu.
"Tidak!" Myungsoo sigap melindungi karungnya. Sebaiknya, tugas memasak jangan diserahkan kepada gadis yang bahkan tidak bisa membedakan jahe dan kencur itu. "Maksudku, biar Jongwan saja yang melakukannya."
"Oooh, itu juga ide bagus!" Jiyeon mengacungkan jempolnya.
Myungsoo menepuk dadanya dengan tangan kirinya yang bebas.
Ketika itulah Jiyeon menangkap sebuah kain lusuh yang membalut jari telunjuk Myungsoo.
"Itu kenapa?"
Sang lelaki langsung menyembunyikan tangan kirinya di belakang punggung. "Hanya tergores tadi waktu memotong ikan. Bukan apa-apa."
"Sudah diobati yang benar belum? Nanti infeksi."
"Kau yang obati," ucap Myungsoo sambil mengikis jarak dengan Jiyeon dan menyodorkan tangan kirinya.
Jiyeon terkesiap mundur. Kedua tangannya diangkat di depan dada, isyarat agar Myungsoo tidak mendekat lagi.
"Obati sendiri!" tukas Jiyeon. "Sana, di dalam ada Lim Wangja-nim yang juga sedang mengobati tangannya."
"Hyungnim sudah pulang?" Myungsoo mengangkat sebelah alisnya.
YOU ARE READING
I Love You For A Thousand Years
Fanfiction"I have loved you since a thousand years ago. I love you for a thousand years. And I will always love you for a thousand more." "You of all people must have known that I always get what I want. No matter if it takes a thousand days or a thousand yea...