"Gongju Mama, hamba pantas mati!" seru Jiyeon sekali lagi sambil bersujud di tanah, tak peduli jika posisinya tidaklah benar.
"Siapa..."
Belum selesai Soyeon berbicara, sebuah pedang yang panjang diacungkan tepat di atas leher Jiyeon.
Gadis itu membeku dalam posisinya. Ia bahkan tak berani bernapas. Tengkuknya dapat merasakan dinginnya bilah pedang yang hanya berjarak beberapa senti di atasnya itu. Apakah dirinya benar-benar akan dipenggal di sini? Dalam posisi yang sama sekali tidak anggun ini?
"Am... ampuni hamba, Yang... Mulia..." Untuk berkata-kata pun Jiyeon harus menelan ludahnya beberapa kali. Apakah memohon seperti ini juga merupakan sebuah kesalahan? Jiyeon bahkan tidak bisa mendongak atau sekedar melirik untuk mencari tahu siapa yang mengacungkan kepadanya.
"Apa yang harus hamba lakukan kepada gadis ini, Wangja-nim?"
Sebuah suara tegas terdengar di rungu Jiyeon. Suara itu datar tetapi sarat akan kepatuhan dan loyalitas.
"Yi Howon, turunkan pedangmu," ujar Siwan.
Tunggu... Yi Howon?! Sejak kapan pria itu ada di sini? Dari mana dia muncul? Jiyeon rasanya ingin segera mengangkat kepalanya dan melihat bagaimana rupa pria yang kelak akan menjadi salah satu jendral besar dalam sejarah Korea itu.
Howon tampak ragu-ragu selama beberapa detik. Tuan yang dilayaninya adalah Wang Soo, tetapi ia juga tak bisa mengabaikan perintah Pangeran Wang Lim begitu saja. "Gadis ini sudah bersikap tidak sopan dan melukai Pangeran Wang Soo," ucap Howon belum menurunkan pedangnya.
"Aku yakin dia memiliki alasan. Biarkan gadis ini memberikan penjelasan," kata Soyeon.
Kedua anak Ratu Inye sudah angkat bicara, keterlaluan rasanya jika Howon masih mengangkat pedangnya.
"Yi Howon?" panggil Siwan sekali lagi. "Sebaiknya kau membantu Soo bangun. Tidak pantas seorang pangeran berada dalam posisi seperti itu. Kau tentu tidak ingin dia menjadi bahan pembicaraan para dayang istana, bukan?"
Mendengar itu, barulah Howon menyarungkan kembali pedangnya. Ia mengangguk hormat kepada Siwan dan Soyeon, kemudian berjalan ke arah Myungsoo yang masih terlalu syok karena baru pertama kali diperlakukan seperti itu.
"Wangja-nim, Yang Mulia baik-baik saja?" tanya Howon sembari membantu Myungsoo bangkit.
Siwan gagal menahan tawanya. Entah apa yang akan dilakukan Myungsoo setelah ini mengingat betapa tempramentalnya adik tirinya itu.
"Bagaimana bisa aku baik-baik saja?!" bentak Myungsoo setelah berhasil berdiri. Ia menyingkirkan tanah yang mengotori pakaiannya. "Gadis itu harus diberi hukuman!"
Jiyeon terbelalak. Pangeran yang satu ini mengapa sangat menyebalkan?!
"Jadi, secara tidak langsung kau mengakui seorang gadis sudah menghempasmu ke tanah?" kata Siwan dengan maksud menyelamatkan Jiyeon. Ia sadar betul bahwa perilaku sang gadis tadi memang pantas diberi hukuman, tetapi Siwan tidak bisa membiarkan hal itu begitu saja, bukan? "Apa yang akan dikatakan orang-orang? Seorang pangeran dikalahkan oleh seorang gadis?"
"Kenapa Hyungnim selalu membelanya?!" seru Myungsoo berjalan dengan kesal ke hadapan Siwan dan Soyeon.
Sampai kapan aku harus bersujud seperti ini? Belum apa-apa, Jiyeon sudah merasa tubuhnya pegal.
"Bangkitlah supaya aku dapat melihat wajahmu," ucap Soyeon seolah mengetahui apa yang ada dalam hati Jiyeon.
"Terima kasih, Yang Mulia!" ucap Jiyeon penuh syukur begitu ia mengangkat tubuhnya. Sang gadis masih duduk di atas tanah dengan kedua lutut yang ditekuk.
YOU ARE READING
I Love You For A Thousand Years
Fanfiction"I have loved you since a thousand years ago. I love you for a thousand years. And I will always love you for a thousand more." "You of all people must have known that I always get what I want. No matter if it takes a thousand days or a thousand yea...