Setelah kejadian tak menyenangkan tadi, kini Biya sudah berada dirumah Hazzfa, gadis itu memutuskan untuk menginap dirumah sahabatnya. Toh, lagian Hazzfa tinggal sendiri dirumah yang lumayan besar ini. Biya pun heran, kenapa bisa sih, Hazzfa hidup sendiri tanpa ditemani siapapun? Padahal kalau dipikir-pikir, semua makhluk sosial itu pasti membutuhkan teman.
Biya berjalan kedapur untuk mengambil beberapa cemilan, ia membuka kulkas dan mengambil cemilan yang memang sengaja Hazzfa stok untuk dirumahnya. Hazzfa? Wanita itu kini sedang merebahkan dirinya sambal menyalakan televisi untuk menonton suara hati istri.
Biya yang baru saja keluar dari dapur menatap malas televisi di depannya. Kebiasaan sekali, selalu saja menonton suara hati istri.
"Fa, ganti dong!"
"No!"
"Fa, ah elah. Gue mau nonton bolang!"
"Ngga ada udah abis!"
"Fa, ih ganti upin-ipin kek! Lo mah tontonannya kek emak gue, apa apa ku menangiiisss terus, pusing gue dengernya!" kesalnya dengan mencebikkan bibir.
Hazzfa hanya memutar bola matanya malas. "Ini tuh banyak hikmahnya! Tonton aja sih, terus nanti lo ambil yang bagusnya jangan yang jeleknya. Kalo bolang hikmahnya apa? Upin-ipin hikmahnya apa?"
"Ya kalo bolang itu petualang, kalo upin-ipin ya main, ikut atuk dalang, sayang sama opah!" balasnya tak mau kalah.
"Serah lo dah, nih!' kesal Hazzfa melemparkan remote tv pada Biya yang sedang tersenyum kemenangan.
"Dadah ku menangis, gue mau nonton ku menyenangkan" Biya yang melambaikan tangan tak jelas pada televisi.
Hazzfa mengambil ponselnya yang masih berada di tas sekolahnya. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan membuka nama seseorang yang pernah ia sematkan saat dulu, siapa lagi jika bukan Haffaz?
Gadis itu men-scroll chat-chat itu ke atas, membacanya berulang kali dan tersenyum sendiri pada layar ponselnya. Chat-chat itu saja bisa membuatnya tersenyum, lantas bagaimana jika Haffaz kembali padanya? Mungkin ia akan senang sekali. Mungkin, dan mungkin juga takkan pernah terjadi.
Biya yang sangat kepo melihat sahabatnya sedang tersenyum sendiri memilih untuk diam-diam mengintip ponsel gadis itu. Namun, yang ia lihat hanya Hazzfa yang tak henti-hentinya membaca chat-chat itu selama berulang kali. Jujur saja, hati Biya sedikit sakit melihat Hazzfa yang harus merasakan ini semua. Bayangkan saja, ditinggal Ayah dan Bunda, untuk selamanya dan tidak dianggap oleh kekasihnya, bahkan di rendahkan.
"Elah, ngapa tuh chat belum lo hapus-hapus juga?" celetuk Biya sambil mengunyah keripik kentang yang tadi ia ambil dikulkas Hazzfa.
"Sayang, Bi"
"Tapi dia ngga sayang lo, Fa. Sadar ngapa! Disini Lo yang tersakiti, lo yang bertahan sendiri cuma karena satu kata yang buat lo hancur berantakan. CINTA."
"Lo boleh cinta Fa sama Haffaz, tapi lo juga ngga boleh bego. Lo cewek, gue juga cewek, jadi gue ngerasain apa yang lo rasain, gue tau apa yang dipendam lo. Lo selalu sabar sama sikap Haffaz yang kasar, tapi Haffaz? lelaki itu sama sekali ngga peduli. Mau sampai kapan Fa? Sampai kapan?" omel Biya panjang.
Hazzfa hanya terdiam menatap layar ponselnya yang masih menampilkan chat-chat dirinya dengan Haffaz. Benar apa kata Biya, bahwa dirinya sangat bego, bahwa dirinya selalu terima perbuatan Haffaz padanya, tapi lelaki itu sama sekali tidak peduli akan dirinya.
Dan percuma saja, jika ia harus meninggalkan Haffaz, ia belum siap dan pasti akan ditolak mentah-mentah olehnya. Sebab, hanya dirinya lah yang terima untuk menjadi pelampiasan amarah lelaki itu. Lelaki yang ia cintai dan ia sayangi, lelaki yang sekaligus sudah ia anggap untuk pengganti orang tua yang meninggalkan dirinya
Namun, semua tak seperti ekspetasinya, dan kenyataannya hanyalah luka yang ia dapat, hanyalah tamparan kata-kata pedas yang keluar dari mulut lelaki itu.
"Gue tau kok,"
"Nah, kalo lo tau kenapa lo ngga ninggalin tuh si cowok brengsek?" ucap Biya dengan kesalnya.
Hazzfa menghembuskan nafasnya kasar.
"Dan itu adalah hal yang ngga bisa gue lakuin,"
"Kenapa? Lo ngga capek? Lo ngga lelah terus-terusan diperlakukan seenaknya?"
"Gue ngga bisa ninggalin dia gitu aja Bi, gue sayang sama dia, ya walaupun dia ngga pernah sayang sama gue. Gue ngga mau Bi, dia ngerasain kehilangan, cukup gue aja"
walaupun aku tau, kalau kamu juga ngga akan rugi jika kehilangan aku Faz.
"Gue juga ngga tau Bi, kenapa gue sebego ini dalam hal mecintai. Gue ngga tau Bi, kenapa gue selalu ngebela-belain untuk bertahan sama Haffaz, karena alasan yang gue punya cuma cinta. Gue cinta dia walaupun gue tau dia benci gue, gue sayang dia walaupun gue tau dia muak sama gue"
Setetes air matanya jatuh, ia sudah tak kuat melanjutkan pembicaraan pada Biya. Hatinya terlalu sakit untuk mengingat semua kejahatan yang pernah dilakukan Haffaz padanya.
"Fa..."
"Gue cuma pengen bahagia Bi, gue cuma pengen hidup tenang sekali aja, apa gue salah? Ngga kan Bi. Gue capek selalu ditatap dengan tatapan aneh sama murid-murid sekolah, gue capek Bi, gue pengen ikut Ayah sama Bunda, gue lelah, gue pengen istirahat bareng mereka"
Isak tangis itu semakin menjadi-jadi di dalam pelukan Biya, entah seberat apa masalah yang gadis itu hadapi tapi Biya salut padanya yang masih bisa menjadi gadis baik dan penyabar. Hatinya ikut sakit saat memeluk sahabatnya yang terisak itu, apalagi saat ia bilang 'gue pengen ikut Ayah sama Bunda' sangat sakit rasanya.
"Gue capek Bi, gue capek,"
"Fa... jangan sedih, masih ada gue, gue janji ngga akan ninggalin lo sendirian"
***
"LO GILA?! TERUS GUE MAU DIMALU-MALUIN GITU AJA DEPAN SEMUA ORANG?!"
"Ya terus gimana?"
"Mau lo apa?"
"Gue mau balas dendam,"
Selin tersenyum smirk mengatakan itu, lihat saja nanti siapa yang kalah dan siapa yang menang. Berbeda dengan kedua temannya yang saling melirik, jujur saja mereka hampir kapok saat kemarin dipermalukan oleh Biya yang notabenenya masih anak pendiam.
"Lo ngga malu apa diperlakuin kayak tadi sama Biya?" Tanya Intan.
"Biya meresahkan," sahut Nila dengan polosnya.
"Kenapa? Takut lo berdua?"
Mereka berdua sontak menggelengkan kepalanya, lalu menatap Selin yang masih tersenyum misterius.
"Jadi apa rencana lo?" ujar Intan.
"Gue punya ide!"
***
yuk jangan lupa di vote dan spam comment!

KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Is Fake
Fiksi RemajaBagaimana jika jadinya aku hanyalah butiran debu bagi kamu yang benar-benar batu? Butiran debu yang hanya di lewatkan dan tidak di pedulikan. Bagaimana jika jadinya aku tetap mencintaimu walaupun sikapmu berbanding terbalik denganku? Apa aku harus m...