"Kamu terlalu sering mempermainkan hati, tanpa kamu sadari, dirimu sendiri telah masuk ke dalam permainan itu"
-dalarassatiDisinilah mereka, di Rooftop tempat biasa Haffaz membolos sekolah. Berdua, tapi sunyi. Bersama, namun canggung. Ada hati yang kaku untuk mengucapkan maaf, dan ada hati yang takut akan hinaan yang keluar dari mulut orang itu. Sama-sama berdiam diri tanpa sepatah katapun rasanya sangat tak enak bukan? Namun untuk membuka obrolan saja bibir ini rasanya kelu.
Haffaz, lelaki itu sedari tadi hanya memandangi wajah gadis yang berdiri di sampingnya, dengan rambut yang tergerai indah di terpa angin dan juga mata lentik yang tertutup, membuat gadis itu semakin cantik di lihatnya.
Namun, mata itu... mata itu tak bisa berbohong padanya, gadis itu menyimpan banyak luka sendirian, ia tahu itu, tapi egoisnya terlalu tinggi sampai-sampai menyakiti gadis kecil yang hidup sendirian dan tak bersalah. Ya, dirinya emang bego.
Ada rasa rindu yang terlintas di dalam hatinya, namun ia sadar, dirinya kini bukanlah siapa-siapa lagi untuk gadis di sebelahnya. Karena kini, di antara ia dan gadis itu, tidak ada kata KITA lagi. Mungkin, untuk selamanya.
Gadis itu menyadari akan tatapan lelaki di sebelahnya ini, tatapan yang ia rindu, tatapan hangat yang dulu ditunjukkan padanya sambil tersenyum manis mengelus pipi lembutnya. Dan sekarang? Semua telah hilang, dengan berubahnya sikap Haffaz yang sangat menjadi kasar. Kadang berfikir, bagaimana ia bisa bertahan dengan sikap kasar lelaki itu selama 1 tahun lebih? Yah, mungkin saja dirinya telah mati rasa, maka dari itu ia tak peduli lelaki itu menyakitinya atau tidak, itu sama saja.
1 tahun menjadi pacar seorang badboy sekolah bukanlah hal yang mudah. Mendapatkan tatapan sinis setiap harinya, mendapat cibir pedas yang menusuk di telinganya, mendapat luka yang entah kapan bisa sembuh. Tidak mudah bukan? Dan 1 tahun juga ia merasakan sakit hati yang dibuat oleh lelaki itu untuk dirinya, tak pernah berfikir jika hubungannya akan goyah seperti ini. Jika kalian terus bertanya, kenapa sih masih mau sama Haffaz yang kasar dan ngga ada otak gitu? Ya mungkin dirinya terlalu baik sampai-sampai ia masih mencintai lelaki yang sudah memberikan luka dengan waktu yang sangat lama.
Hazzfa berdiri menghadap lelaki di depannya, ia menarik nafasnya pelan, lalu membuangnya perlahan. Ya, ia harus memberanikan diri untuk membuka percakapan lebih dulu, di bandingkan diam-diam saja seperti naik ojol?
"Katanya tadi mau ngomong?" tanyanya yang langsung ditatap oleh Haffaz membuat dirinya ingin terbanggggg jauhhhhh.
Haffaz hanya tersenyum canggung, "Gue cuma mau-"
"Mau apa?"
"Minta maaf sama lo," jujurnya mengalihkan pandangannya.
"Untuk apa?"
"Untuk semua rasa sakit yang lo rasain, mungkin" ucap Haffaz dengan santainya.
Mungkin? Apa dirinya tak salah dengar? Jadi sebenarnya, ini niat minta maaf atau ngga sih? Udah tau hatinya terus disakiti, lah dia? Malah bilang mungkin. "Mungkin?" beo Hazzfa dengan herannya.
Lelaki itu hanya menaikkan kedua alisnya dan mengangguk sesuka hatinya. Anjir memang.
"Oh yaudah, kalo gitu aku duluan" pamitnya namun lengannya di cekal lebih dulu oleh Haffaz.
"Ada yang mau gue omongin lagi sama lo,"
Sial! Kenapa sih ini jantung harus dag dig dug serrrrr, kaya ngeborrr.
Ia membalikkan tubuhnya menghadap lelaki itu lagi dan lagi. Tapi ia merasakan ada yang beda dari tatapan Haffaz, seperti memohon tapi tidak mungkin?

KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Is Fake
Teen FictionBagaimana jika jadinya aku hanyalah butiran debu bagi kamu yang benar-benar batu? Butiran debu yang hanya di lewatkan dan tidak di pedulikan. Bagaimana jika jadinya aku tetap mencintaimu walaupun sikapmu berbanding terbalik denganku? Apa aku harus m...