"Tugas ku sudah selesai. Kau lebih memilih berlari bersamanya, padahal aku yang membantu mu berjalan."
***
Hazzfa berlari begitu saja menerobos kerumunan itu, ia sangat tidak menyangka dengan Haffaz yang lebih memilih wanita lain di bandingkan dengan dirinya. Padahal, dulu dirinya selalu di puja dengan kata-kata manis dan sekarang selalu tersakiti dengan kata-kata pedas.
Dan dari semua itu Hazzfa tahu, jangan cepat percaya dengan kata-kata manis yang di ucapkan oleh lelaki jika tak ingin tersakiti terlalu dalam. Karena yang Hazzfa rasakan sekarang ini adalah kenyataan pahit. Entahlah, dirinya tak bisa berbuat apa-apa, lelaki itu sudah mengakhiri hubungan ini dan lebih memilih berlari dengan wanita lain... di banding dengan dirinya yang telah membantunya berjalan.
Ia duduk dibawah pohon rindang yang berada di belakang sekolahnya. Dirinya meluapkan semua kesakitan dan amarahnya di sana, memukul rumput yang tak bersalah, menjambak rambutnya sendiri, berteriak seperti orang yang sudah tak ada tujuan hidup lagi. Tapi memang benar kenyataannya, tidak ada harapan lagi untuk dirinya bertahan di dunia yang kejam ini, semuanya kosong, telah berubah dalam sekejap, telah kehilangan untuk selamanya. Yang ia mau hanya Ayah, hanya Bunda, ya tuhan! Tolong pertemukan dirinya dengan Ayah dan Bunda, agar ia bisa menangis terisak didalam pelukan keduanya. Ia hanya ingin ketenangan untuk saat ini.
"Bunda... Ayah..." ucapnya dengan suara bergetar.
"HAZZFA!"
Hazzfa hanya diam tidak menjawab. Ia masih menundukkan kepalanya, menangis terisak di pelukan dirinya sendiri.
"Hazzfa," panggil Biya yang sudah berada di depan gadis itu.
Biya langsung memeluk erat sahabatnya itu, membiarkan Hazzfa menangis di pelukannya, karena Biya tahu, Hazzfa sudah tak ada lagi sandaran selain dirinya, maka dari itu ia sangat menyayangi Hazzfa seperti kakaknya sendiri, karena Hazzfa lah yang mempunyai sikap lebih dewasa di banding dirinya.
"Hazzfa,"
"Jangan nangis terus,"
Gadis itu masih terisak di dalam pelukan Biya, tak ada niatan untuk bangun, tak ada niatan untuk hentikan tangisannya sekarang. Sebab, ia masih butuh pelukan hangat yang bisa menenangkan dirinya, seperti pelukan lelaki itu saat... dulu.
"Ha-hati aku sakit Bi,"
Hati Biya menciut mendengarnya, jujur saja ia tak tahan melihat Hazzfa yang sangat terpuruk, tak rela mendengar isak tangis Hazzfa hanya untuk lelaki brengsek itu. Hazzfa juga wanita yang harus bahagia, punya masa depan berwarna, tapi mengapa lelaki brengsek itu justru mengubah warna itu menjadi hitam gelap? Entahlah, Biya rasa lelaki itu tak punya hati.
"Fa, jangan nangis lagi, jangan keluarin air mata lo cuma buat lelaki brengsek kayak dia, ngga pantes Fa. Disini ada gue, gue yang selalu sama lo, sayang gue ke lo melebihi rasa sayang lo ke cowok brengsek itu."
"A-aku kehilangan semuanya Bi, aku mau Bunda sama Ayah, aku mau pelukan mereka. Hati aku sakit Bi, aku lelah, aku capek, aku pengen nyerah Bi, aku ngga kuat"
Biya melepaskan pelukan itu, menatap wajah Hazzfa dengan mata yang sudah bengkak. Ia menghapus air mata gadis itu, tersenyum ke arah sahabatnya walaupun hatinya juga ikut sakit melihatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Is Fake
Ficção AdolescenteBagaimana jika jadinya aku hanyalah butiran debu bagi kamu yang benar-benar batu? Butiran debu yang hanya di lewatkan dan tidak di pedulikan. Bagaimana jika jadinya aku tetap mencintaimu walaupun sikapmu berbanding terbalik denganku? Apa aku harus m...