"Aku pernah memberi mu kesempatan untuk membahagiakan ku, tapi kamu lebih memilih untuk melewatkan ku"
***
Lelaki itu berjalan cepat menuruni anak tangga tanpa menghiraukan panggilan dari teman-temannya. Mereka pun tak tahu Haffaz ingin pergi kemana. Ia tergesa-gesa membuat kedua orang tuanya menatap dirinya heran.
"Mau kemana Faz?" tanya Resa, ibu dari Haffaz.
"Palingan mau berduaan sama Afa," celetuk Reno sambil menyeruput secangkir kopi.
"Iya, udah lama Hazzfa ngga main kerumah," ujar Nayla, sang kakak.
Langkahnya terhenti saat kedua orang tua dan kakaknya berbicara seperti itu. Dan memang mereka masih belum tau, kalau Haffaz hanya memanfaatkan Hazzfa sebagai pelampiasannya.
Afa, adalah nama panggilan darinya untuk gadis itu. Menurutnya, nama itu cocok untuk gadis mungil yang sekarang bukan siapa-siapanya lagi.
Ia tak menjawab, bahkan menatap keluarganya pun enggan. Dirinya langsung berlari dan menancapkan gas meninggalkan rumahnya. Bahkan ia tak peduli dengan teman-temannya yang meneriaki namanya dari lantai atas.
Baginya yang terpenting sekarang adalah, Hazzfa. Ia takut wanita itu di ganggu oleh pria bajingan seperti dulu, dan ia tak akan biarkan itu terjadi pada gadisnya. Gadisnya?
Haffaz membawa motor dengan gila-gilaan, sampai membuat para pengendara lain terganggu olehnya. Bagaimana tidak? Jika Haffaz yang menerobos truk besar, lampu merah, dan peraturan lain pun ia tidak pedulikan.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di rumah Hazzfa, apalagi dengan dirinya yang membawa motor tak ingat mati.
Ia memandangi rumah sederhana di depannya, sudah lama sekali ia tak pernah main kesini, tak pernah menemani Hazzfa lagi. Bahkan mengantar gadis itu pulang sampai di depan rumah pun tak ia lakukan. Otaknya terus berputar mengingat kenangan manis dirinya dengan gadis itu.
"Kamu tidur gih,"
"Temenin sampe aku bobo ya?" pinta gadisnya.
"Iya sayang,"
Ia menghembuskan nafasnya kasar, lalu turun dari motornya dan mengetuk pintu rumahnya, berharap di buka dengan pemiliknya. Ia hanya ingin tahu keadaan gadis itu, ia takut pria bajingan itu kembali lagi.
Apakah salah jika dirinya hanya ingin tahu keadaan gadis itu?
***
"Dasar lo buluk badak!"
"Lo bulu monyet!"
"Kalo gue monyet, lo apa? Gorila?"
"Sialan lo!"
Persahabatan antara dua gadis itu memang sangat susah untuk di pisahkan, dan mungkin tak akan pernah bisa di pisahkan. Karena mereka saling melengkapi kekurangan satu sama lain, dan sefrekuensi, itu lebih penting.
Biya memang tadi memutuskan untuk menginap lagi di rumah Hazzfa. Lagi pula lumayan ia libur dua hari di rumah Hazzfa dan menghabiskan waktunya dengan sahabat tersayangnya itu.
Suara ketukan pintu membuat mereka menatap satu sama lain. Pasalnya, sekarang sudah jam 10.30 malam, dan siapa yang mengetuk pintu rumahnya malam-malam? Lumayan keras lagi!
"Siapa Fa?"
"Ngga tau Bi,"
"Buka sono lo!"
"Idih, ga ga apaan. Lo aja sana Bi, lo kan pemberani" celetuk Hazzfa yang memang tidak di filter terlebih dahulu.
"Gue berani juga sama manusia bukan setan!"
"Emang lo tau yang di luar manusia apa setan?"
"Dari yang gue denger sih, itu cara ketukan setan mau masuk rumah" balasnya dengan asal.
"Ngaco lo! Udah sana!" suruh Hazzfa mendorong bahu Biya agar mau membukakan pintu rumahnya.
"Berdua Fa, ngga usah curang lo!" Biya dengan menoyor kepala Hazzfa.
"Iya-iya, ck!"
Mereka berdua berjalan melipir ke arah pintu sambil mencari celah jendela yang pas untuk mengintip siapa malam-malam yang datang kesini?
Biya membuka sedikit gorden itu dengan di ikuti oleh Hazzfa yang juga ingin melihat siapa yang mengetuknya. Dugaannya salah, ia kira yang mengetuk mba kunkun, ternyata mas ganteng- ralat, jelek maksudnya.
Biya menoleh ke arah Hazzfa yang sedang menatap pintu rumahnya dengan ragu, ia tahu bahwa Hazzfa belum siao untuk bertemu Haffaz yang sudah amat sangat menyakiti dirinya, apalagi di depan banyak orang?
Ia memegang pundak Hazzfa dan meyakinkan wanita itu agar di dalam rumah saja, dan dirinya yang di luar. Hazzfa hanya diam tanpa berkata apa-apa, matanya mulai berkaca-kaca akibat mengingat bagaimana teganya Haffaz mempermainkan nya seperti itu.
Biya keluar dengan gaya tak sukanya, lalu ia menatap tajam ke arah lelaki di depannya ini. "Mau apa lo kesini?"
"Lo tidur disini?"
"Iya, kenapa emang? Dan ada apa lo dateng malam-malam kesini?"
"Gue ngga akan izinin lo buat ketemu sama Hazzfa," ancamnya dengan emosi.
"Gue cuma mau ketemu Hazzfa, karena ada hal penting yang mau gue omongin ke dia," jelas Haffaz dengan sabar. Jika saja, di depannya bukan seorang wanita, ia pastikan habis saat itu juga.
"Lo itu ngga pan-
"Bi..."
Suara lembut itu membuat keduanya menoleh ke arah pintu yang kini sudah ada Hazzfa, si gadis penyabar luar biasa. Hazzfa menganggukkan kepalanya pada Biya seolah berkata 'tidak apa-apa' dan Biya hanya menghela nafasnya sambil menatap nyalang lelaki di depannya ini seperti ingin di terkam oleh dirinya.
Biya masuk ke dalam rumah sambil menghentakkan kakinya kesal. Bisa-bisanya Hazzfa membiarkan lelaki yang sudah menyakiti dirinya terlalu dalam, kini menemuinya lagi dengan sangat tidak tahu malu. Ia hanya tak ingin Hazzfa menangis lagi, melamun lagi, ia tak ingin. Rasanya, baru tadi ia berhasil membuat Hazzfa tertawa setelah gadis itu meluapkan semua amarahnya dan yang terpendamnya disana.
Hazzfa hanya menatap datar lelaki di depannya, "ada apa?"
"Lo ngga papa kan? Baik-baik aja kan?" tanya Haffaz sambil memutar-mutarkan tubuh gadis itu, memperhatikan ada yang luka atau tidak.
Jujur saja, dirinya sangat tertegun saat Haffaz memperlakukan dirinya seperti ini. Apakah lelaki itu mengkhawatirkan dirinya? Atau hanya sengaja membuat dirinya baper dan ingin menjadi pelampiasannya lagi? Ah, sudahlah, rasanya ingin kembali seperti dulu. Namun itu tidak mungkin bukan?
"Aku ngga papa,"
"Ada apa kesini? Udah malam," ucapnya.
Haffaz menatap lega pada Hazzfa yang tengah menatapnya bingung. Siapa yang tidak bingung jika mantan kekasihnya itu tiba-tiba datang ke rumah dan menanyakan dirinya apakah baik-baik saja? Tidak semudah itu untuk move on dan melupakan semuanya.
"Gue cuma mau liat keadaan lo doang," ujar Haffaz dengan tak enak hati.
"Oh, udah kan? Sekarang mau apa? Aku mau tidur, capek!" tutur Hazzfa dengan nada tak suka yang ia buat-buat. Jujur saja, dirinya tak pandai marah, maka dari itu mengapa orang-orang memperlakukan dirinya seenaknya, ya karena Hazzfa adalah wanita yang kuat, yang sangat penyabar dan mengikhlaskan semua perbuatan mereka tanpa ada dendam dan benci sedikitpun.
Baru saja Hazzfa ingin melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, tangan kekar sudah lebih dulu menahannya.
"Fa,"
"Gue mau, lo balik sama gue"
***
maaf kalo cerita ini ga ada feel nya sama sekali🥺
jangan lupa vote and comment ya! karena itu semangat bgt buat aku❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Is Fake
Genç KurguBagaimana jika jadinya aku hanyalah butiran debu bagi kamu yang benar-benar batu? Butiran debu yang hanya di lewatkan dan tidak di pedulikan. Bagaimana jika jadinya aku tetap mencintaimu walaupun sikapmu berbanding terbalik denganku? Apa aku harus m...