Sudah tiga hari semenjak Biya meninggalkan Hazzfa, gadis itu hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Sekadar makan atau minum saja ia tak pernah. Bahkan, tante-nya saja yang jauh-jauh datang dari AS tidak di hiraukan olehnya. Hazzfa hanya butuh sendiri, butuh ketenangan untuk mengikhlaskan seseorang yang ia sayangi kembali meninggalkan dirinya lagi dan lagi. Sekarang, yang bisa ia lakukan hanya menangis seorang diri tanpa sandaran siapapun lagi. Tidak ada Biya, tidak ada hidup, baginya.
Ini bukan kali pertama Hazzfa merasakan kehilangan. Sebelumnya, ia pernah kehilangan seseorang yang tak akan pernah kembali lagi untuk memeluk dirinya. Ayah dan ibu. Dan tiga hari berturut-turut ini ia hanya menangis sambal mendengarkan lagu kesukaan sahabatnya, dan mengingat memori-memori indah yang pernah mereka lalui bersama.
Hazzfa duduk didepan piano, dimana ia sering sekali memainkannya sambil bernyanyi bersama Biya. Tangannya meraih satu bingkai foto yang terdapat ia dan Biya didalam foto itu. Ia mengelus bingkai foto itu dengan sayang, dengan kelembutan dan juga kerinduan yang selalu menghampiri setiap detiknya. Perlahan jari lentiknya mulai menekan satu tuts piano yang menghasilkan suara merdu. Air matanya menetes saat ia mulai menyanyikan lagu kesukaan sahabatnya yang mengandung banyak makna di dalamnya. Perih, itulah hatinya saat ini.
"It's been a long day without you my friend, and i'II tell you all about it when I see you again,"
Bibirnya bergetar saat menyanyikan lagu itu, dan tanpa disadari, kini air matanya sudah mengalir deras di pipi lembutnya.
"We've come a long way from where we began, oh i'II tell you all about it when I see you again,"
Dirinya memperhatikan bingkai foto itu, tersenyum dengan keterpaksaan lalu menutup matanya dengan hati yang sangat perih.
"When I see you again,"
Setetes air matanya jatuh bersamaan dengan dirinya yang mengakhiri lagu itu.
Dirinya sudah tak tahan lagi, ia bangkit lalu terduduk dilantai dengan memeluk bingkai foto yang sedari tadi ia pegang. Ia tak bisa secepat itu untuk melupakan sahabatnya, hanya Biya, hanya gadis itu yang mampu memahami isi hati seorang Hazzfa yang sangat lemah ini.
"Bi, kalo gue boleh jujur, gue ngga kuat. Ngga ada arti lagi untuk gue hidup Bi, ngga ada"
Ia memandangi foto itu sambal mengelus lembut wajah Biya yang tertera di sana. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali menangis. Entahlah, setiap hari yang ia lalui hanya menangis dan menangis. Bahkan dirinya saja tak pernah beristirahat yang cukup.
"Lo bohong bi!" ucapnya sambal menunjuk-nunjuk foto Biya dengan hati yang penuh dengan kepedihan maupun kekecewaan.
"Kenapa lo ngga bilang kalo lo punya penyakit separah itu Bi? Dan kenapa lo harus buat janji sama gue kalo akhirnya lo juga ninggalin gue, kayak mereka!"
"Lo bilang lo bakalan selalu menemani gue, tapi sekarang? Hanya kegelapan dan kesunyian Bi yang menemani gue tiap harinya,"
Terlalu pahit bagi dirinya untuk kehilangan seseorang yang sangat berarti untuknya. Bodoh! Bodoh sekali dirinya tidak mengetahui bahwa Biya mempunyai penyakit separah itu? Bodoh sangat sangat bodoh ketika dirinya hanya mementingkan diri sendiri.
"Maaf Bi maaf. Gue terlalu mentingin diri sendiri sampai gue lupa bahwa ada lo yang juga pasti merasakan sakit,"
"I'm sorry, and i know, i'm problem"
***
Diva, yang bernotabene sebagai tante dari gadis yang bernama Hazzfa, kini hanya bisa menunggu gadis itu untuk keluar kamar. Sudah tiga hari gadis itu mengunci dirinya tanpa memperdulikan kesehatannya. Ia tahu bahwa Hazzfa pasti akan sangat merasakan kehilangan, tapi ia juga tak mau jika kesehatan gadis itu terganggu seperti ini.
Ia menaikki anak tangga menuju kamar Hazzfa dengan membawakan makanan yang telah ia siapkan untuk keponakannya. Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengetuk pintunya, karena takut di lempar barang lagi kayak kemarin katanya.
Tok tok.. tok..
"Hazzfa," panggilnya dengan lembut.
"Bukan pintunya Fa, ini tante"
"Udah tiga hari kamu ngga pernah keluar kamar, bahkan kamu ngga pernah menghiraukan tante sedikitpun. Kamu ngga kasian sama tante? Kamu benci ya tante ada disini?" lanjutnya dengan memancing gadis yang berada di dalam kamarnya.
Saat dirinya sudah menyerah dan ingin turun ke bawah, ia mendengar suara pintu yang terbuka. Dirinya membalikkan tubuh dan menghadap Hazzfa dengan senyumnya, tapi gadis itu hanya diam lalu pergi begitu saja ke dalam kamarnya.
"Ngga papa Div, ngga papa kok" ucapnya pada diri sendiri.
Diva memasuki kamar Hazzfa, menaruh piring yang berisi makanan itu tepat di meja belajarnya. Ia berjalan mendekati keponakannya yang sedang duduk menyendiri di balkon dengan bingkai foto yang masih Hazzfa genggam.
Sungguh, hatinya teramat sakit melihat wajah gadis itu terlebih saat ia melihat matanya yang sudah sembab akibat terus-menerus menangis. Menurutnya, Hazzfa adalah gadis yang sangat kuat untuk menjalani hidup yang penuh lika-liku seperti ini. Bahkan mungkin jika ia menjadi dirinya, ia tak mungkin sanggup melewati semuanya, tapi Hazzfa? I don't know, hati gadis itu terbuat dari apa. Ia layak mendapatkan kebahagiaan dua kali lipat bahkan lebih. Dirinya juga merasa bersalah karena meninggalkan Hazzfa sendirian di kota ini hanya karena urusan pekerjaan. Tapi mau bagaimana lagi? Ia harus tetap bekerja, untuk menghasilkan uang. Karena yang ia mau, Hazzfa punya Pendidikan yang tinggi agar bisa melanjutkan dirinya suatu saat nanti.
Percayalah, hidup tanpa kedua orang tua itu tidak mudah.
"Hazzfa, kamu makan dulu ya, tante ngga mau kamu sakit" ucapnya yang memberanikan diri untuk memulai percakapan lebih dulu.
Hazzfa menoleh menghadap tante-nya dengan tatapan sendu. "Tante, maaf soal kemarin. Ak-"
"Sttt. Ngga papa sayang, tante ngerti. Sekarang yang tante minta, kamu harus ikhlas, kamu harus merelakan bahwa Biya udah pergi untuk selamanya dan ngga akan pernah kembali lagi,"
"Tante tau, pasti berat untuk kamu mengalami hal yang sama kan? Tapi hanya keikhlasan yang akan membuat kamu bahagia nantinya. Emangnya, kamu pengen Biya sedih karena kamu terus-menerus nangis? Biya ngga suka kan kamu nangis? Begitupun tante Fa. Tante udah anggap kamu sebagai anak kandung tante sendiri. Karena kamu tahu sendiri kan? Tante ngga bisa hamil lagi, setelah tante keguguran anak yang pertama. Dan tuhan kasih kamu untuk tante, walaupun kamu kehilangan Ayah dan Ibu,"
Hazzfa sangat merasa bersalah karena sudah bersikap kasar pada tante-nya yang sudah menganggap dirinya sendiri sebagai anak. Tapi tetap saja, ia masih belum rela dan ia masih terus berharap kalua semua ini hanya mimpi. Namun? Saat Diva bicara seperti itu, rasanya ada batu besar yang menimpa hatinya hingga hancur. Nyatanya, kini hanya ada kehancuran di dalam hati tanpa ada yang menyatukannya lagi.
"Maaf tante maaf," isak Hazzfa di pelukan Diva.
"It's okay. Tante hanya ingin liat kamu bahagia, okay?"
Hazzfa menganggukkan kepalanya dengan senyumannya, lalu ia kembali memeluk Diva.
"Oke, udah acara peluk-pelukannya. Sekarang kamu makan," ucapnya sambil memberikan satu piring nasi yang sudah ia siapkan.
"Maunya di suapin tante," balas Hazzfa dengan manja.
Diva hanya terkekeh kecil saat melihat senyuman yang terbit dari bibir mungil gadis itu. Rasanya bahagia sekali. "Sini, aaa"
Hazzfa mulai makan dengan lahap sembari sesekali bercanda dengan Diva. Tapi perkataan tante-nya barusan, membuat Hazzfa hilang selera untuk melanjutkan makan lagi.
"Kemarin ada yang kesini nyariin kamu," ucap Diva dengan hati-hati.
Gadis itu hanya mengerutkan keningnya sambil bertanya. "Siapa?"
Pasalnya ia sangat heran, siapa yang mencari dirinya? Bahkan bertahun-tahun ia hidup, ia hanya memiliki sahabatnya, Biya.
"Haffaz,"
***
hiii balik lagiii!
yuk jangan lupavote
and
comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Is Fake
Teen FictionBagaimana jika jadinya aku hanyalah butiran debu bagi kamu yang benar-benar batu? Butiran debu yang hanya di lewatkan dan tidak di pedulikan. Bagaimana jika jadinya aku tetap mencintaimu walaupun sikapmu berbanding terbalik denganku? Apa aku harus m...