EVERYTHING IS FAKE | 34

1.4K 126 26
                                        

Memulai hidup baru di Negara yang baru tidaklah mudah untuknya. Sudah seminggu ini ia mempersiapkan diri untuk masuk ke sekolah barunya untuk menyelesaikan Pendidikan yang sempat tertunda. Hari ini, adalah hari pertama ia memasuki lingkungan baru serta memiliki teman-teman yang baru juga. Ralat, tidak ada teman baru, karena inilah hidupnya sekarang. Memiliki lingkungan yang ramah, memiliki teman-teman se-frekuensi dengannya. Tapi tetap saja, Biya tak akan pernah terlupakan dari ingatannya, juga lubuk hatinya.

"Hi, my name is Hira, I'm from Indonesia" ucapnya memperkenalkan diri lalu berjalan menuju dimana kursi kosong berada.

Pembelajaran berjalan lancar. Tapi, gadis dengan nama Hira terus menerus melamun tanpa mendengarkan penjelasan guru yang sedang mengajar. Bahkan saat jam istirahat tiba, ia sama sekali tidak berkutik dari kursinya.

Jujur saja, kini jantungnya berdebar dua kali lebih cepat. Ia takut, takut akan hal yang terjadi di kehidupan sebelumnya kini terulang lagi. Ia memejamkan matanya mencoba untuk menghilangkan fikiran buruk yang kini tengah berada di otaknya, namun saat ia mencoba, justru bayangan-bayangan saat ia di bully dahulu semakin jelas di ingatannya, semua memori seakan-akan bersarang di hidupnya. Telinganya kini terus menerus mendengar jeritan buruk tentang dirinya.

"Dasar cewek murahan!"

"Cewek miskin!"

"Murahan kayak lo!!!'

"Jelek, miskin, murahan! Dasar jalang!"

"Kalo jalang ya jalang aja! Ngga usah ngelak!"

Ia membuka matanya dan melihat bahwa ia tengah di kelilingi teman sekelasnya. Sangat terlihat dari wajah teman-temannya bahwa mereka sangat mengkhawatirkan dirinya. Trauma mendalam yang kini ia rasakan tak bisa menghilang dari ingatannya. Semuanya masih terekam jelas, bahkan sampai sekarangpun ia merasakan bahwa tak ada ketenangan lagi untuk ia hidup.

"Hei, are you okay?" tanya salah satu wanita yang bernama Alice.

"What's wrong with you?" gadis dengan nama Emily, yang kini berada di sampingnya sembari mengusap pundaknya,

Ia melihat mereka satu persatu, menatap manik mata mereka dengan bahagia. Apakah ini rasanya jika seseorang peduli denganmu? Bahkan baru kali ini ia merasakan di khawatirkan oleh orang-orang di sekelilingnya. Karena selama ini, ia hanya merasakan satu ke-khawatiran orang terdekat. Yaitu, Gazbiya Narendra. Nama dan jiwa yang tak akan pernah terlupakan.

"Hei, Hira. We ask," ucap Alice yang masih meraqsa khawatir.

"Oh sorry, I'm okay"

"Just a little dizzy," lanjutnya dengan senyum yang ia berikan pada temannya itu.

"Do you want to rest?" tanya Emily yang masih berada di sampingnya.

"No need, I'm fine," balas Hira dengan ramah.

"Okay,"

Di tempat lain, seorang pemuda laki-laki kini tengah sibuk dengan sebatang rokonya sambil sesekali meneguk alkohol yang tepat berada di depannya. Sudah seminggu ia masih belum menemukan letak tempat tinggal gadisnya. Menyesal? Sudah pasti. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detikpun ia merasa bersalah pada gadisnya kerena telah memperlakukan gadis itu secara seenaknya. Menyesal dan menyesal. Itulah yang tertanam di dirinya sekarang. Ia merasa kosong, ia merasa hampa tanpa ada cinta sejatinya disini.

Mungkin inilah karma untuknya telah menyia-nyiakan gadis seperti Hazzfa dan telah mengkhianatinya. Bahkan kini, langit saja tak merestui hubungan mereka lagi.

"Ngga pusing lo dari tadi minum alkohol terus?" pertanyaan bodoh keluar begitu saja dari mulut Zidan.

"Bego! Ya pasti pusing lah!" ujar Farel yang merasa kesal dengan pertanyaan Zidan.

"Minum bodrex, nanti langsung ilang kayak nenek gue," sahut Zidan yang langsung di lirik tajam oleh Haffaz.

"Kasian dia, larang sana!" ucap Farel sambil mendorong tubuh Zidan untuk mendekati Haffaz.

"Ogah anjing! Ngga mau gue masuk kendang singa lagi. Ntar gue di lempar botol alkohol lagi kacau dah ketampanan gue hilang begitu saja!" Zidan yang bergidik ngeri.

"Kamar gue bau alkohol gara-gara si singa jantan! Untung emak gue ngga ada, kalo ada abis gue di gebukin pake sapu lidi!" ucapnya mendegus kesal.

Farel menahan tawanya saat melihat Haffaz yang kini sudah berdiri dan tengah berjalan ke arah Zidan dengan satu botol kosong bekas alkohol di tangannya. Zidan yang keheranan dengan Farel kini menghadap belakang. Matanya melebar seketika saat Haffaz sudah berada tepat di belakangnya, dan Zidan yang langsung lari terbirit-birit keluar dari kamarnya.

Pada saat bersamaan, Raka datang sambil membawa satu plastik martabak manis pesanan Farel yang katanya untuk cuci mulut Haffaz sehabis ia meminum alkohol.

"HUUAAA RAKAAA! GUE MAU DI SERANG KAMBING! EH MONYET! EH SALAH LAGI MAKSUDNYA SINGA!" jerit Zidan yang langsung berdiri di belakang Raka agar Haffaz tak lagi mengejarnya.

"Itu ada singa ngejer-ngejer gue dari tadi! Galak banget kan!" adunya pada Raka.

Setengah sadar, setengah tidak. Haffaz masih saja sempat tertawa saat Zidan mengadu pada Raka seperti bocil yang ngga kebagian es balon hahaha.

Raka mendekati Haffaz, dengan Zidan yang masih berada di belakangnya. Ia merangkul pundak Haffaz karena ia terlalu banyak minum alkohol.

Dengan perlahan ia mengambil botol alkohol yang masih terisi lumayan penuh, lalu membuangnya. Ia tak ingin melihat temannya seperti ini. Ya, ia tahu bagaimana rasanya kehilangan. Bahkan sampai sekarang, luka yang di tinggalkan oleh Biya di hatinya kini masih basah dan membutuhkan waktu untuk mengering dengan sendirinya. Kosong dan hampa, itu juga pasti dirasakan oleh Raka.

"Cara lo salah bro!" ucap Raka sambil membuka kotak martabak dengan tangan Zidan yang ingin mengambil namun di cegah lebih dulu olehnya.

"Ck!" decaknya kesal.

"Gue ngga ngasih lo bocil!" ucap Raka membuat ia menahan kesal.

"MAMPUS!" ledek Farel yang menjulurkan lidahnya dengan satu tangan yang juga ingin mengambil martabak.

"Gue juga ngga nawarin lo!" sergah Raka yang langsung memindahkan kotak martabak itu ke hadapannya.

"HAHAHA SUKURIN!" ledek Zidan kembali.

Haffaz kini hanya menyenderkan bahunya di sofa. Kepalanya kini terasa sangat pusing dan ingatannya kembali pada masa-masa indah bersama gadisnya yang berakhir dengan masa-masa yang sangat buruk. Dan kini, ia berharap mesin waktu benar-benar ada. Agar ia bisa kembali ke masa lalu untuk menghapus semua penyesalannya. Tapi sudah terlambat. Dan mesin waktu, itu tidak ada untuk orang sepertinya.

"Kita bakalan bantu lo untuk cari Hazzfa," ucap Raka yang langsung di tatap oleh Haffaz.

"Kemana Rak?"

"Kalo lo nyerah, berarti lo nyerah juga untuk memperjuangkan cinta lo?" tanya Raka yang dibalas gelengan kepala olehnya.

Haffaz menundukkan kepalanya, memejamkan matanya untuk meredakan pusingnya sedikit, lalu berucap. "Kenapa gue harus terlambat menyadari kalo Hazzfa begitu berarti buat gue? Gue cuma mikir, untuk apa gue menanti kesempatan kedua, yang ngga akan mungkin pernah ada."

"Lo berhak dapat kesempatan kedua," ucap Raka menyemangati.

"Lahhh? Bukannya Haffaz udah make 10 kali kesempatan ya? Lebih malah! Ya ngga berhak dong dia dapet kesempatan kedua!" celetuk Zidan sambil memakan martabak yang diam-diam ia ambil.

"Bisa diem ngga njing?" tanya Raka menatap sinis Zidan.

Lelaki yang ditatap kini hanya cengegesan seperti tak merasa bersalah. "Gue jomblo, gue diem. Muach!" ucapnya pada diri sendiri sambil mencium satu martabak yang ia pegang.

"NAJIS!"

***
HAPPY READING GUYS! <3

Everything Is Fake Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang