"Hazzfa,"
Langkahnya terhenti saat ia mendengar suara yang tak asing baginya, jantungnya berdegup kencang seperti lari maraton, hatinya sedikit hangat saat suara itu kembali memanggil dirinya dengan nama bukan dengan sebutan jalang.
Ia membalikkan tubuhnya dan membalas tatapan mata itu. Mata indah yang dulu sering sekali ia tatap, mata indah yang dulu sering berkerut karena tertawa bersama, mata indah yang sering meliriknya dengan penuh kasih sayang. Hazzfa akui, ia rindu, sangat-sangat rindu pada lelaki di depannya ini. Begitupun dengan Haffaz, maybe.
"Mau ke kelas?" tanya Haffaz yang langsung di angguki gadis itu.
Tentu saja ia terkejut, bagaimana tidak? Lelaki yang selama ini mengeluarkan kata-kata kasar dan mencaci makinya kini bertanya pada dirinya dengan lembut. Ah, ingin terbang setinggi mungkin rasanya.
"Mau gue antar?"
Deg.
Ia merasakan ada yang menggelitik di perutnya, dan mungkin kini bayangan dirinya telah terbang setinggi-tingginya. Sebut saja ia gila, ya benar memang gila karena telah jatuh cinta pada lelaki itu.
Ia mengangguk ragu, masih ada rasa takut di hatinya karena lelaki itu telah mempermalukan dirinya, namun... mungkin sepertinya Haffaz-nya telah berubah...
Seperti dulu.
Haffaz mengambil tangan gadis itu membuatnya terdiam sejenak. Sudah lama, sudah sangat lama tangan lembut ini tak di pegang olehnya, sudah lama ia merindukannya, sangat-sangat rindu.
"Ayo,"
"O-oh iya,"
Mereka berjalan santai di koridor sekolah menuju kelas gadis itu, dengan Haffaz yang menggenggam tangannya dan tatapan-tatapan tidak suka kembali Hazzfa dapatkan. Ia menunduk, sangat takut rasanya jika seperti ini, memang dari dulu mereka sudah tak suka akan hubungan mereka dan nauzubillah-nya si Haffaz salah paham gara-gara cowok brengsek.
Haffaz tahu, tahu akan tatapan gadis yang menunduk itu, jujur saja hatinya sedikit berdenyut sakit melihatnya, apakah seperti ini rasanya di tatap oleh orang-orang dengan sinis? Tidak enak sekali, ya begitulah rasanya:)
Ia memegang dagu lembut milik gadis itu, perlahan menyuruhnya untuk tidak menunduk lagi. Ia menatap mata hazel milik gadisnya itu, mata yang penuh kesakitan dan keteduhan itu mampu membuat hatinya tersayat. Apa separah ini dirinya membuat luka di hati gadis yang tak bersalah ini?
"Jangan nunduk, ada gue" bisik lelaki itu tepat di telinga gadisnya.
Hazzfa menatap lelaki di sampingnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan, entahlah ia masih tak percaya dengan yang ada di depannya ini. Apakah Haffaz-nya telah kembali? Apakah seluruh raga dan jiwa Haffaz telah kembali padanya? Oh tuhan! Ia sangat bersyukur.
Haffaz melambaikan tangannya saat gadis itu memasuki kelasnya dengan senyum yang sangat manis, namun saat ia membalikkan tubuhnya kini di depannya sudah ada seseorang yang berkacak pinggang dengan mata yang memancarkan kemarahan. Dirinya menghembuskan nafasnya kasar, lalu menarik gadis itu ke Rooftop sekolah.
***
"GILA, GILA, GILA!"
"DEMI APA LO DI ANTAR HAFFAZ?!"
"WOWWWWW!"
"AAA LO YANG DI ANTAR KOK GUE YANG SENENG SIH?!"
"PENGENNN!"
Bacotan-bacotan yang keluar dari mulut sahabatnya itu membuat dirinya memutar bola matanya malas, sangat sangat malas rasanya berurusan dengan manusia lebay satu ini, tapi ya selebay apapun Biya, ia adalah orang yang paling berarti di hidupnya, sangat berarti malah.
"Fa, jawab dong!" kesal Biya dengan mencebikkan bibirnya.
"Apaansih Bi!"
"Itu kenapa lo bisa di antar sama Haffaz? Kerasukan setan apa dia?" selidik Biya.
"Sembarangan lo!"
Biya menyipitkan matanya seolah-olah menjadi Detektif, seperti upin-ipin. Biya mengeluarkan lip balm dan kacamata dari tas nya, memakai lip balm itu dengan tipis dan memakai kaca mata minusnya itu. Ia menghadap Hazzfa seperti ingin menyelidiki kejahatan.
"Mulai cabe-cabean nya," gumam Hazzfa yang sudah biasa mendapatkan tingkah laku seperti ini dari sahabatnya. Gila memang.
Teman sekelasnya? Ah,mereka semua sudah terbiasa dengan perilaku kedua sahabat itu, apalagi bendahara-nya, ia sangat-sangat hafal sekali siapa yang susah membayar uang kas sekolah. Siapa lagi jika bukan Hazzfa dan Biya, hahaha.
"Hazzfa, apakah kamu mencoba berbohong dengan saya?" tanyanya dengan wajah yang sangat mirip seperti upin-ipin.
"Bohong apeee?!"
"Ck! Hazzfa serius ih!" kesal Biya yang langsung melemparkan kaca matanya, membuat barang itu langsung RIP begitu saja.
"HUAAA! HAZZFA, KACA MATA GUE!"
Teriakan Biya yang cempreng itu membuat seisi kelas menoleh ke arah mereka berdua, Biya yang teriak, Hazzfa yang malu.
"Makanya detektif Biya, hati-hati" ucap Joko, si ketua kelas.
"Makanya jadi biduan dangdut aja jangan detektif!" ceplos Sinta teman sekelasnya yang terkenal dengan mulut judesnya itu.
Biya mendelik kesal ke arah Sinta, "Lo aja sono! Detektif ma cita-cita gue!"
Mereka hanya tertawa melihat perdebatan kedua gadis itu, sudah biasa bagi mereka semua karena memang Biya dan Sinta itu jarang akurrr seperti Banteng dan si baju merah.
"Hilih! Detektif naon!"
"Diem lo Sinta gendut!"
"Dari pada lo, kurus!"
"Lo gendut ngga bisa lari!"
Perdebatan keduanya itu tak pernah berhenti, membuat Hazzfa menghela nafasnya pelan. Ingin sekali melerai, tapi tidak mungkin, karena Biya tidak akan mau mengalah dengan Sinta yang bernotabene musuhnya di kelas. Akhirnya Hazzfa memutuskan untuk ke toilet, dari pada melihat mereka berdebat dengan adu bacot. Pusing dengarnya.
Ia berjalan dengan menundukkan kepalanya, jujur saja tatapan itu semakin menjadi-jadi setelah ia dan Haffaz berjalan bersama. Begitulah, banyak yang tidak menyukainya.
Ia memasuki satu bilik toilet, menatap dirinya di depan cermin sambil tersenyum manis. Ia sangat bahagia rasanya, bahagia sekali saat tiba-tiba Haffaz-nya telah kembali seperti dulu, senang sekali merasakan tangan hangat lelaki itu yang biasa menggenggam tangannya, Hazzfa sangat merindukannya, sungguh.
"Semoga kamu tetap seperti ini Faz," -gumamnya dalam hati meyakinkan.
Ia berjalan dengan hati yang berbunga-bunga, dengan sengaja melewati kelas lelaki itu namun, yang ia lihat hanya ada Raka, Farel dan Zidan yang kelihatannya sedang bermain game bersama, ingin bertanya tapi takut mengganggu. Lalu, dimana Haffaz?
Dirinya berpikir sejenak, beberapa detik kemudian ia tersenyum tipis tapi tetap saja menunduk. Ia menuju Rooftop sekolah untuk menghampiri Haffaz yang mungkin sedang bolos disana.
Ia menaiki anak tangga, membuka pintu Rooftop dengan sangat pelan, ia hanya takut lelaki itu sedang tidur dan ia mengganggunya. Namun, saat ia melangkahkan kakinya ia terkejut saat melihat siapa yang ada di sana dan apa yang mereka bicarakan. Sungguh, di luar kepala!
Hazzfa menutup mulutnya yang hendak mengeluarkan isak tangisnya. Dirinya sesak, dadanya kini bergemuruh hebat seperti di sambar oleh petir, apalagi saat mendengar pembicaraan mereka. Ia tak menyangka, sebenci dan sejahat inikah lelaki itu padanya? Hazzfa kira lelaki itu sudah kembali dengannya namun... lagi-lagi ia di khianati.
"Apa alasannya?!"
"Mau tau alasannya?"
***
balik lagiii ke chapter 16!
jgn lupa di vote, comment sebanyaknya🤗
yuk di follow ig ku @dalarassatijadi menurut kalian, chapter ini gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Is Fake
JugendliteraturBagaimana jika jadinya aku hanyalah butiran debu bagi kamu yang benar-benar batu? Butiran debu yang hanya di lewatkan dan tidak di pedulikan. Bagaimana jika jadinya aku tetap mencintaimu walaupun sikapmu berbanding terbalik denganku? Apa aku harus m...