HAPPY READING!🤪
Sudah seminggu juga Hazzfa tak kembali bersekolah. Bahkan, saat satu sekolah mendoakan kepergian Alm. Biya, ia tak hadir. Kini dirinya hanya duduk di tepi ranjang menatap bingkai foto yang tepat berada di atas piano. Ia kini memikirkan, bagaimana caranya agar ia bisa mewujudkan mimpi sahabatnya untuk menjadi seorang pianis terkenal? Bahkan beberapa hari belakangan ini ia selalu berlatih tanpa lelah sedikitpun. Bagi dirinya, mimpi Biya adalah mimpinya juga.
Hazzfa menatap koper besar di sebelahnya dengan tatapan sedikit tak rela. Beberapa jam lagi ia akan pergi dari rumah yang menyisakan banyak kenangan ini, mungkin ia tak akan pernah kembali.
"Hazzfa, ayok! Mobilnya sudah siap," ucap tante-nya yang di angguki oleh Hazzfa.
Diva tahu, jika Hazzfa belum siap untuk meninggalkan rumah yang menyisakan semua kenangan indah disini. Tapi, ia juga tak mau melihat Hazzfa terus stuck berada dalam kenangan ini. Itu hanya membuatnya semakin sakit.
Hazzfa mengambil bingkai foto itu dan meneteskan air matanya. Apakah harus secepat ini berpisah Biya?
Ia menutup pintu kamarnya dengan tatapan sendu, menghadap ke arah tante-nya lalu memeluknya dengan erat.
Hanya butuh beberapa jam untuk sampai di bandara. Dan kini ia dan tante-nya telah berada di dalam pesawat untuk melanjutkan perjalanan mereka. Ia melihat keluar jendela sebelum lepas landas. Lagi dan lagi, air matanya terjatuh. Ia harus merelakannya untuk pergi dari sini dan melanjutkan hidupnya kembali.
"Selamat tinggal Negeri kelahiran, selamat tinggal Ayah Ibu, selamat tinggal Biya, dan selamat tinggal untukmu, Haffaz."
Air matanya jatuh membasahi pipinya, kini ia tak kuat lagi menahan air mata yang sejak tadi ingin turun. Berpisah dengan kenangan indah maupun pahit adalah hal tersulit baginya. Dan sekarang, Good Bye.
Sedangkan di sisi lain, lelaki yang berada di Rooftop sekolah tengah memikirkan keadaan gadisnya. Sedang apa dia? Mengapa gadisnya tak pernah dating untuk bersekolah lagi semenjak kepergian Biya? Mengapa gadisnya itu terus-menerus larut dalam kesedihannya?
Hari ini ia berniat untuk pergi kerumah Hazzfa melihat keadaan gadisnya itu. Jujur saja, sampai sekarang rasa gengsi-nya masih ada tapi, kini rasa cintanya lebih besar di bandingkan rasa gengsi yang sejak dulu terpendam di hatinya. Ia memberanikan diri untuk pergi kerumah Hazzfa, namun saat teringat ucapan Tante Diva, rasanya ia sangat tak sanggup.
"Saya cuma mau ketemu Hazzfa tan, boleh?"
"Untuk apa kamu kemari?" balas Diva dengan sedikit judes.
"Saya hanya ingin melihat kondisi Hazzfa tante,"
Diva memutar bola matanya malas. Seenaknya aja nih cowok udah nyakitin terus kembali tanpa rasa bersalah. "Saya tidak membiarkan Hazzfa bertemu dengan lelaki brengsek sepertimu Haffaz!"
Seperti ditikam batu besar rasanya saat ia ditolak oleh salah satu keluarga Hazzfa. Apakah ini balasan untuknya? Tapi, ia takkan menyerah. "Kenapa tan? Saya tau saya salah, tapi please tan! Saya hanya ingin bertemu dengan Hazzfa, saya tidak ingin dia kenapa-kenapa,"
"Saat dulu, dimana kamu? Mengapa baru sekarang kamu kembali setelah kamu kehilangan pacar gila kamu itu!"
"Saya hanya melampiaskannya dengan Selin, saya ngga bohong tan! Saya akui, saya bodoh. Karena saya sudah salah paham dengan Hazzfa, maka dari itu saya ingin menjelaskan kepada Hazzfa tan! Please, izinkan saya untuk menemui Hazzfa."
Diva bersedekap dada, ia melihat tak ada kebohongan di mata lelaki itu. Tapi tetap saja, ia tak ingin Hazzfa jatuh ke dalam lubang yang sama. "Pergi dari sini! Dan saya pastikan, kamu ngga akan pernah bertemu dengannya lagi!"
Ia menonjok tembok yang ada di sebelahnya untuk melampiaskan amarahnya. Dirinya tau, pasti tante Diva tak akan pernah main-main dengan ucapannya. Ia mengambil jaket hitamnya secara kasar, menuruni tangga dengan berjalan cepat, menghidupkan motornya dan menancapkan gas-nya tanpa peduli panggilan dari teman-temannya, bahkan gurunya.
Yang ada di pikirannya saat ini adalah Hazzfa. Ya, dia harus menjelaskannya pada gadis itu, dan Hazzfa berhak tau semuannya.
Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Sekarang pikirannya kacau, hatinya berkecamuk dengan kegelisahan. Dan hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di rumah gadisnya itu. Namun yang ia lihat, seperti tak ada orang di rumah ini, bahkan gorden-gorden yang biasa di biarkan terbuka kini tertutup rapi seperti rumah tak berpenghuni.
Ia memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu, menarik napas terlebih dahulu agar tak grogi. Gitu katanya.
Tok Tok
"Assalamualaikum,"
"Hazzfa?"
"Assalamualaikum, tante Diva?"
Sudah berkali-kali ia mengetuk dan memanggil nama sang pemilik rumah, namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hingga pada akhirnya, ada tetangga yang ia kenali melewati rumah gadis itu.
"Loh, Haffaz?" beo Bi Siti, penjual nasi uduk di samping rumah Hazzfa.
"Oh, iya bi"
Haffaz mendekati Bi Siti dengan mencium tangannya, karena memang dulu ia sering sekali makan nasi uduknya berdua dengan Hazzfa.
"Kamu teh ngapain disini?" tanya Bi Siti.
"Hmm, ini Bi. Saya dari tadi ngetuk-ngetuk tapi ngga ada yang jawab dari dalam. Saya juga udah ucap salam, manggilin si Hazzfa tapi ngga ada sautan" ucapnya dengan jujur.
Bi Siti mengangguk-anggukan kepalanya, namun sedetik kemudian ia teringat. "Oh iya, kamu teh ngga tau ya?"
"Maksud Bibi?" tanyanya dengan bingung.
"Ituloh, tadi pagi teh neng Hazzfa pergi. Katanya sih mau pindah dari rumah ini, tapi Bibi ngga tau si eneng pindah kemana, soalnya di privasi sama si tante Diva dangdut itu ya?" jelas Bi Siti.
Haffaz terkejut bukan main saat Bi Siti berucap seperti itu. Hazzfa pergi? Kemana gadisnya itu pergi? Apa ini yang di namakan kehilangan?
"Diva aja Bi. Yaudah kalo gitu, Haffaz pamit ya"
"Iya, hati-hati ya. Bibi juga mau ke warung"
"Iya Bi, makasih Bi!"
"Sama-sama ganteng,"
Ia kembali ke halaman rumah Hazzfa dengan tatapan kosong. Kemana gadisnya itu pergi? Harus kemana ia mencari? Semua telah hancur, semuanya telah hilang akibat kelalaiannya sendiri. Akibat kebrengsekan dirinya sendiri. Kini ia telah kehilangan, kehilangan gadis yang mencintai dirinya tanpa alasan apapun. Bahkan saat ia bersikap kasar saja gadis itu masih ingin bersama dengannya. Namun sekarang? Dimana gadisnya? Tak ada jejak. Dan semua terprivasi.
Ia menatap kursi di sebelahnya, tersenyum seakan-akan gadis yang ia cintai berada di sana. Tapi semuanya hanya khayalan. Dan kini, detik ini, di hari ini ia telah kehilangan bidadarinya. Entah sementara atau untuk selamanya.
"Ternyata begini rasanya kehilangan Fa." ucapnya pelan, menahan air mata yang hendak turun.
"Gue cengeng ya Fa? Baru kehilangan lo sekali aja rasanya udah ngga sanggup."
"Fa, kemana arah jalan yang harus gue lewati untuk menemukan lo?"
***
jangan lupa follow, vote and comment!❤️
nitip ig aku hahaha
@dalarassati
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Is Fake
Teen FictionBagaimana jika jadinya aku hanyalah butiran debu bagi kamu yang benar-benar batu? Butiran debu yang hanya di lewatkan dan tidak di pedulikan. Bagaimana jika jadinya aku tetap mencintaimu walaupun sikapmu berbanding terbalik denganku? Apa aku harus m...