Bab 29

49.5K 2.4K 69
                                    

Nih, udah update.
Jangan lupa votenya.
Komen dan follow sekalian.
Berbuat baik itu menyenangkan.
Sorry kalau typo.
Yang ini target 100 vote, baru update.
Happy reading
😍😍😍
______________________________
.
.
.

Awalnya Keyra pikir lirikan mata Kintan tak menyiratkan sesuatu. Namun, begitu seseorang bergabung bersama mereka secara tiba-tiba, Keyra baru mengerti. Lelaki itu duduk di seberang Keyra, tepat di samping Kintan.

Tiba-tiba saja suasana kantin menjadi hening. Bahkan, suara sendok yang beradu dengan piring pun sama sekali tidak terdengar. Para pegawai yang sedang mengantre berhenti di tengah jalan, semua penghuni kantin mengarah ke meja mereka.

Rupanya hal itu belum cukup, kedatangan para atasan yang lain pun seolah menambah rasa sesak di dada Keyra dan Kintan. Terlebih, mereka duduk di meja samping yang kebetulan kosong. Entah apa maksud kedatangan rombongan atasan kantor tersebut. Yang pasti Keyra dan Kintan seperti mati kutu.

"Santai saja. Silakan makan," ucap Farren dengan nada normal. Mungkin karena kondisi kantin yang sangat hening, suara Farren bisa terdengar hingga ke setiap penjuru kantin. Justru Keyra merasa firasat buruk.

"Bertiga saja?" tanya Farren. Anehnya mata lelaki itu mengarah kepada Keyra.

"Iya, Pak," jawab Abri.

Farren tersenyum tipis. "Nama kamu siapa?"

Di ujung meja, Keyra tersentak. Memang pertanyaan itu bukan untuknya. Namun, entah kenapa Keyra ikut merasakan gugup. Langsung tanya nama nih? Secepat itu?

"Nama saya Abrisam, Pak."

"Usia kamu berapa?"

Mungkin Abri juga merasa aneh dengan tingkah atasannya. Penting ya tanya usia? "Usia saya 25 tahun, Pak."

"Wah, masih muda."

"Memangnya Pak Farren sudah tua?" tanya Abri spontan.

"Eh? Kamu mengatai saya tua?"

Abri langsung menunduk. "Bukan, Pak. Saya tidak bermaksud begitu."

"Terus, itu tadi apa?"

Abri tersenyum. "Bukan apa-apa, Pak."

Farren merilekskan tubuhnya sambil memandang remeh Abri. "Sudah berapa lama kamu kerja di sini?"

"Hampir dua tahun, Pak. Kurang lebih dua bulan lagi."

Farren mengangguk-angguk. "Oh, ya. Proyek yang di Makassar itu kamu yang pegang, bukan?"

"Benar, Pak. Tapi, saya tidak sendiri, Pak. Ada beberapa tim yang ikut membantu."

"Saya dengar kemarin sempat ada miscommunication. Saya juga dengar kalau kemarin itu bukan proyek yang seharusnya dipegang kamu. Benar?"

"Benar, Pak. Seharusnya proyek kemarin dipegang Pak Muzani. Saya berinisiatif membantu karena Pak Muzani harus fokus pada proyek yang ada di Palembang, Pak."

"Kamu tau tidak kalau saya paling tidak suka pada seseorang yang mengganggu kepunyaan orang lain?" Farren memandang serius Abri. "Saya lihat kamu ini tipe orang yang senang mengganggu urusan orang lain, senang mengambil milik orang lain."

"Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau niat saya kemarin tidak berkenan bagi Anda."

"Benar, jadi saya ingatkan kamu lagi. Jangan mengganggu kepunyaan orang lain." Tiba-tiba Farren mengunci tatapan Keyra meskipun ucapannya tertuju pada Abri. "Kalau kamu memaksa, berarti kamu menantang saya."

My, Oh My! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang