!!! TERDAPAT ADEGAN KEKERASAN !!!
***
"Fikri pindah sekolah." Aji menoleh ke arah Gio yang baru saja menyelesaikan sarapannya. "Papa, ya?"
Pria itu mengangguk sekali. "Iya."
Mel berjalan menghampiri anaknya, megusap pundak anak lelaki itu. "Ini bukan salah kamu, sayang. Kadang, orang seperti Fikri itu harus dikasih tau kalau dia salah. Bukannya selama ini dia selalu nyari masalah sama kamu?"
Aji berusaha menutupi ekspresi terkejutnya. "Masalah apa?" Berpura-pura tidak tahu adalah keputusan yang ia pilih saat ini.
"Semua berita buruk tentang kamu, Fikri yang mulai," ucap Mel.
Fiqa yang duduk di seberang Aji, tertawa. "Kupingnya Papa ada banyak. Matanya juga. Masa kamu gak nyadar juga?"
"Apa yang Papa lakuin ke Fikri?"
"Papa cuma minta Fikri pindah sekolah, kalau masih punya rasa malu," ucap Gio dengan cuek.
Belum sempat Aji bertanya lebih jauh, Fiqa berdiri. "Ayo, aku anter kamu ke sekolah."
Kening Aji mengkerut. "Kakak gak kerja?"
"Seminggu tiga kali. Sekarang libur."
Setelah berpamitan pada kedua orang tuanya, lelaki itu mengikuti langkah kakaknya.
"Kak?" panggil Aji ketika mobil yang dikendarai Fiqa baru saja meninggalkan halaman rumah mereka.
"Iya?" ucapnya lembut.
"Orang tua Fikri diem aja?"
"Menurut kamu, seharusnya apa yang dilakuin orang tua Fikri? Kamu nonjok dia tapi papa minta Fikri yang pindah sekolah, bukan mindahin sekolah kamu."
"Marah, dong. Gak terima," jawabnya dengan cepat.
"Meskipun orang tua kamu itu atasan bahkan pemilik perusahaan tempat ayahnya Fikri kerja?"
Aji menoleh, menatap wajah Fiqa dengan terkejut. "Maksudnya? Ayahnya Fikri itu karyawannya papa?"
Fiqa mengangguk. "Surprise!" Ia tersenyum kecil.
Detik itu juga, Aji mulai memahami kenapa ekspresi orang tuanya terlihat kesal sepulang dari pertemuan dengan orang tua Fikri.
"Jadi ... ayahnya Fikri dipecat?"
"Kalau kamu jadi seorang ayah, punya anak yang dikatain sama anak dari karyawan kamu, apa yang kamu lakuin?"
Aji tampak berpikir. "Blacklist? Tapi papa gak mungkin tega, sih, Kak."
Fiqa tertawa kecil. "Di mata kamu, papa orang yang seperti apa?"
"Sabar, mungkin? Temen-temen aku pernah dikasarin sama ayah mereka tapi papa gak pernah main tangan ke aku." Ia tersenyum tipis mengingat beruntungnya terlahir memiliki ayah yang sangat penyayang. "Meskipun sering ngeselin, nyebelin."
Fiqa ikut tersenyum. "Manusia gak ada yang sempurna. Tapi, marahnya orang sabar tuh gimana, sih?"
Aji mengangkat kedua bahunya. "Papa melotot sama ngebentak aja rasanya mau menghilang. Aku gak pernah liat papa marah besar."
"Kayak Qila aja. Dia kan sabar banget."
"Aku gak mau bikin Kaela marah," ucapnya dengan bersungguh-sungguh.
"Intinya, papa blacklist ayahnya Fikri dari perusahaan?" tanyanya.
Fiqa mengangguk. "Tepatnya dari perusahaan papa sama semua perusahaan dan anak perusahaan milik keluarganya Om Avlar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...