"Ma?" Aji menghampiri Mel yang sedang merapikan peralatan dapur.
"Iya, sayang," jawabnya tanpa menoleh.
"Kira-kira sampe kapan Kaela harus minum obat?" tanyanya tanpa basa-basi.
Wanita itu menghentikan gerakan tangannya. Kedua matanya menatap kosong arah di depannya.
"Ma, kapan Kaela berhenti minum obat?" Aji mendekat. "Aji gak tega liatnya."
"Kalau udah sembuh," jawabnya tanpa menoleh.
"Kapan?" desak anak lelakinya.
Mel menghela napasnya, tersenyum tipis. Andai ia tahu jawabannya.
"Waktu kuliah di Australia, siapa yang ngirim obatnya Kaela, Ma?"
Kini, wanita yang usianya sudah tidak muda lagi itu menatap kedua mata anak terakhirnya. "Waktu di Australia, Kaela gak pernah kambuh."
Aji terdiam. Bagaimana bisa?
Seolah membaca pikiran sang anak, Mel berkata, "Karena Kaela bahagia di sana. Punya temen yang selalu ada dan mendukung."
"Karena Cole?"
Mel tersenyum getir. "Cole juga berpengaruh besar. Tapi, kamu tau sendiri papa orangnya keras."
Aji tidak mengerti. Bukankah Qila selalu bahagia jika berada dekat dengan keluarganya? Bukankah keluarga adalah sebaik-baiknya tempat pulang?
Wanita itu menyelesaikan pekerjaannya, kemudian ia mengajak sang anak untuk ikut berkumpul bersama anggota keluarga yang lain.
"Besok kan hari sabtu. Aku mau ke Singapura!" ucap Fiqa dengan girang.
"Sama siapa?" tanya Mel dengan nada terkejut.
"My the one and only, Ervano."
Ekspresi Aji pun terlihat masam. Sampai kapan ia harus berpura-pura menyukai pria itu?
"Kangen temen kuliah, ya?" Mel tersenyum.
Fiqa mengangguk. Pandangannya beralih menatap kakak kembarnya. "Ayo, ikut aku. Aku punya rahasia."
Qila yang sedang dirangkul oleh Gio hanya menggeleng. "Aku mau di sini aja, nemenin dedek."
Sontak, Fiqa memajukan bibirnya.
"Kalau kamu udah pesen tiket, salah ngajak Qila sekarang." Gio ikut bersuara. "Pulang kapan?"
"Berangkat besok pagi, minggu sore saya udah di sini." Fiqa tersenyum senang. "Boleh, kan, Pak?"
"Boleh," jawab Gio dengan singkat.
Mel mengernyitkan keningnya. "Formal banget. Santai aja, sayang."
"Aku pengen ke Surabaya, boleh?" tanya Qila dengan nada bercanda.
"Nggak," jawab Gio dengan cepat.
"Kafi yang jauh, boleh. Kaela yang deket gak boleh? Aneh," celetuk Aji.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Aji. Lebih tepatnya, para orang dewasa itu tidak ingin menambah beban pikiran anak lelaki yang masih beradaptasi dengan fakta bahwa salah satu kakaknya harus meminum obat penenang.
***
Keesekokan harinya, Aji dibuat kesal oleh Mel. Tanpa sepengetahuannya, wanita itu menjadi pelatih Ekskul PMR di sekolahnya.
"Baik, kita akhiri pertemuan kali ini," ucap pelatih basket.
"Kenapa?" bisik Damar yang menyadari ekspresi sahabatnya.
"Ji, itu nyokap lo? Cantik banget pake jas dokter gitu," ucap salah satu kakak kelas.
Damar yang menyadari alasan di balik ekspresi Aji, hanya berbisik, "Jangan tunjukin di sekolah kalau lo kesel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Подростковая литература[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...