Seorang anak laki-laki berlari kencang menuju gerbang sekolah yang hampir tertutup sempurna. Dengan napas yang terengah ia menyapa satpam yang bertugas. Pandangannya beralih pada gedung sekolah yang sangat jauh berbeda dengan sekolah lamanya. Meski begitu, ini adalah sekolah yang ia impikan sejak setengah tahun lalu.
"Udah datang telat, bukannya buru-buru malah melamun. Sana, cepat masuk kelas!" ucap satpam itu.
Laki-laki itupun tersadar, kakinya kembali melangkah menuju papan pengumuman. Tidak ada daftar siswa beserta kelasnya di sana. Celaka, ia tidak tahu di mana letak kelasnya berada.
"Nyari kelas, ya?"
Anak laki-laki itu menoleh, dilihatnya seorang laki-laki dengan tanda pengenal bertuliskan nama Kadek.
"Gak ada di situ, percuma," lanjutnya.
Laki-laki yang masih kebingungan itu berdecak.
"Coba ke kelas gue, yuk? Siapa tau kita sekelas."
Tanpa menunggu persetujuan lawan bicaranya, Kadek berjalan lebih dulu menuju kelasnya yang terletak tepat di samping tangga menuju lantai dua.
"Ada nama gue. Berarti, kita sekelas?"
Kadek tersenyum tipis dan mengangguk. "Kebetulan gue duduk sendiri. Mau duduk bareng?"
Anggukan lawan bicaranya membuat Kadek kembali melangkah masuk ke dalam kelas. Tanpa mempedulikan guru yang sudah duduk di tempatnya.
"Maaf, Bu. Saya terlambat." Laki-laki yang masuk bersama Kadek tadi menundukkan kepala.
"Baru hari pertama masuk sekolah udah terlambat, mau jadi apa kamu?"
"Maaf, Bu," ulangnya sekali lagi.
"Sebagai hukumannya, kamu perkenalan diri," ucap wanita itu dengan tegas.
Laki-laki itu mengangguk. Kepalanya mendongak, dilihatnya suasana kelas yang sangat jauh berbeda dari sekolah lamanya. Di sekolah lama, tiap kelasnya hanya menampung tidak lebih dari dua puluh siswa. Berbeda dengan kelasnya saat ini, yang ia perkirakan menampung lebih dari tiga puluh siswa.
"Cepat! Tunggu apa lagi?"
"Hi! Iam Arazzi, y'all can call me Aji."
"Kamu mau nguji kesabaran saya? Pake Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Kamu itu tinggal di Indonesia."
Laki-laki bernama Aji itu tersenyum malu, tangan kanannya menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal.
"Ulangi!"
Aji membenarkan posisi berdirinya. "Nama saya Arazzi, kalian semua bisa panggil Aji."
"Kamu dari sekolah mana?" Guru wanita itu memerhatikan penampilan Aji yang jauh berbeda dengan teman-temannya.
Anak laki-laki itu memakai atasan berwarna biru muda dengan setrip tipis berwarna putih serta kerah putih yang dihiasi dasi pendek berwarna biru tua dengan tiga setrip putih. Dan juga celana pendek dan sepatu berwarna putih.
Aji menyebut nama sebuah sekolah internasional yang letaknya cukup jauh dengan sekolahnya saat ini. Beberapa teman kelasnya terlihat tak percaya. Mereka semua tahu jika sekolah lama Aji termasuk sekolah elit.
"Ayah kamu kerja di mana?" tanya wanita itu lagi.
"Di gedung," jawabnya singkat. Baginya, menanyakan pekerjaan orangtua merupakan hal yang tidak sopan.
"Baik, silakan duduk."
Aji menoleh pada Kadek yang memberi isyarat agar ia mendekat. Tanpa ragu, langkahnya menuju meja Kadek yang berada di barisan paling belakang, nomor dua dari deretan pintu kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...