Aji yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya, berjalan menuju meja makan.
"Kaela mana?" ucapnya seraya duduk di salah satu kursi.
Qila, dengan pakaian santai rumahannya, muncul dari arah halaman belakang rumah. "Aku abis liat kura-kura."
"Kaela gak ke toko?" Lelaki itu memerhatikan sang kakak yang kini telah duduk di tempatnya.
"Ngapain? Itu bukan toko aku lagi."
Mel melirik Gio dengan tatapan kesal.
Pria itu berdeham. "Qila, toko itu punya kamu."
"Aku mau lanjut jadi model aja," ucap perempuan itu dengan cuek.
"Kaela kalau jadi penyanyi juga pasti sukses." Aji ikut bersuara.
Qila menggeleng. "Aku gak mau menonjol, aku mau hidup normal. Biasanya kalau penyanyi, dicari tahu semuanya."
"Papa ngecek CCTV." Gio mengalihkan pembicaraan.
Fiqa yang sejak tadi hanya menyimak percakapan pun bersuara, "Serius, Pa?" tanyanya dengan nada kecewa.
"Bukannya CCTV yang di kamar gak akan dicek kalau gak ada maling, ya?" Aji ikut bertanya.
Berbeda dengan kedua adiknya, Qila terlihat santai.
"Papa liat kamu nangis." Gio menatap sj anak pertama. "Sebelum Fiqa dateng, kamu nangis sambil teleponan sama orang."
"Leave her alone." Fiqa menatap kesal sang ayah.
Mengabaikan anak ke duanya, ia berkata, "Papa gak bisa dengar percakapannya, tapi Papa bisa pergi ke orang yang ngerti teknologi buat mulihin suara."
"Menurut Aji, wajar kalau Kaela nangis. Aji inget kalau Papa bilang toko itu buat Kaela, tapi sekarang Papa mau ambil lagi tokonya setelah diurus sama Kaela. Kalau jadi Kaela, Aji juga sakit hati." Lelaki itu berucap dengan santai.
Qila menatap sang adik. Ada rasa bangga di hatinya mengingat sang adik mendapat didikan yang jauh lebih baik darinya karena mampu mengungkapkan pendapat tanpa perlu merasa takut.
"Jadi, saran dari Aji, sebaiknya Papa gak usah nyari tau apa yang Kaela omongin di telepon dan teleponan sama siapa. Takutnya malah Papa yang nyesel."
Gio terdiam.
"Skak," ucap Fiqa diiringi senyuman tipisnya.
"Makan dulu, nanti telat." Mel mengingatkan.
Aji berdiri, berjalan keluar rumah. Tak lama, ia kembali dengan sebuah bola basket di tangannya. Tanpa menoleh ke arah meja makan, kakinya melangkah menuju ruang kamarnya.
Dengan sangat yakin, ia menunjukkan jari tengahnya ke arah kamera pengintai yang terpasang. Tanpa ragu, dilemparnya bola itu secara terus-menerus, khawatir jika kamera yang terpasang terbuat dari alat yang tidak mudah rusak.
"Aji, jangan main bola di dalam rumah, sayang." Mel datang. Ekspresinya berubah menjadi terkejut.
"Aji harus matiin kameranya." Anak lelaki itu sudah bersiap untuk melempar bolanya lagi.
Dengan ekspresi penuh khawatir, Mel menarik anaknya keluar kamar. "Udah, jangan masuk kamar. Takutnya ada pecahan, bahaya." Ia menutup pintu kamar dari luar.
"Kamu ngapain, Aji?" Gio datang, diikuti oleh kedua anak perempuannya.
"Begini." Anak itu melempar bolanya tepat ke kamera pengintai yang berada di dekatnya. Suara benda pecah pun terdengar ketika bola memantul, mengenai layar televisi yang langsung menunjukkan retakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...