Gio baru saja keluar dari ruang rapat ketika asistennya memberitahu bahwa pihak sekolah baru saja menelepon. Setelah mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, kini ia telah berada di depan gerbang sekolah Aji. Kendaraannya sengaja ia parkir di luar sekolah.
"Permisi, Pak. Saya orang tua murid," sapanya pada satpam yang sedang berjaga.
Pria tua itu membukakan gerbang, menuntun Gio menuju ruang guru. Dalam perjalanan, pria yang mengenakan atasan kemeja tanpa jas itu melihat ke arah lapangan.
"Pak, maaf. Mereka kenapa dijemur di tengah lapangan, ya?" Gio menghentikan langkahnya, menatap wajah si satpam.
"Mereka lagi dihukum, Pak," ucap seorang guru lelaki yang tak sengaja berpapasan di koridor sekolah.
"Oh."
"Biasalah, anak remaja. Ngerokok di area sekolah. Bisa mencemarkan nama baik sekolah."
Kini, Gio menatap guru itu. "Jadi, pihak sekolah menghukum para murid yang merokok hanya demi nama baik sekolah? Bukan memberti pengertian mengenai dampak merokok bagi kesehatan?"
"Pak Vergio, ya?" Seorang guru perempuan menyapa.
"Iya." Gio mengangguk.
"Tadi saya yang telepon, tapi yang ngangkat orang lain." Guru itu tersenyum.
"Iya, tadi saya ada rapat. Kalau boleh tau, ada apa, ya? Apa anak saya baik-baik aja?" Gio menatap kedua guru itu secara bergantian. "Arah ke UKS lewat sini, kan?"
Guru perempuan itu tersenyum, posisi berdirinya mebelakangi lapangan, membuat Gio tak sengaja melihat ke arah lapangan.
"Kenapa ada anak saya?" Ia menatap guru lelaki.
Guru itu mengangguk. Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, Gio tahu bahwa ketakutannya telah terjadi. Ia tidak pernah menceritakan tentang kenakalannya selama duduk di bangku sekolah menengah pertama dulu karena tidak ingin anaknya menirunya.
Semasa menjadi siswa putih biru, Gio adalah anak yang sangat nakal. Mulai dari berkelahi, merokok, hingga meminum minuman dilakukannya demi mencari perhatian sang ayah. Melakukan protes dengan caranya sendiri supaya sang ayah tidak lagi mengajak keluarga kecilnya terus berpindah kota karena tuntutan perkejaan.
Ia tidak pernah mempermasalahkan jika harus terus beradaptasi dari awal. Tetapi masalah terjadi pada saudara kembarnya, Nadya. Saudaranya itu sangat pemalu. Hal itu membuatnya pernah menjadi korban penindasan di sekolah dan membuatnya trauma, hal yang membuatnya tidak berani memiliki teman di sekolah-sekolah berikutnya.
Baginya, ketiga anaknya tidak berhak melakukan kenakalan remaja karena ia telah berusaha menjadi ayah yang jauh lebih baik dari ayahnya sendiri. Ia terus mendengarkan saran dari istrinya tentang bagaimana cara mendidik ketiga anak mereka.
Dari tempatnya berdiri, Gio terus memerhatikan Aji. Anak itu berdiri dengan posisi siap. Senyuman tipis terukir di wajah pria itu karena sang anak memperaktikan ajarannya dengan benar. Sebagai mantan seorang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka pada zamannya, ia mengajarkan kepada anak-anaknya bagaimana cara berdiri yang benar ketika sedang berada di dalam barisan.
Meskipun pernah merasa kecewa karena ketiga anaknya tidak ada yang bisa meneruskan dirinya sebagai anggota Pasukan Pengibar Bendera di sekolah, ia tetap merasa bersyukur karena ketiga anaknya tetap mau menganggap dirinya sebagai seorang ayah.
Seandainya Qila tidak trauma pada nada suara tinggi, Fiqa yang tidak memiliki masalah kesehatan pasti sudah menjadi anggota Paskibra di sekolah dan Gio akan merasa sangat bangga. Sayangnya, Fiqa tidak mau melakukan apapun tanpa Qila.
Gio menatap kedua guru yang masih berada di depannya. "Bisa saya ajak anak saya pulang?"
"Sebaiknya Bapak menunggu karena hukuman yang sedang dijalani oleh anak Bapak belum selesai. Biarkan anak Bapak menyelesaikan hukumannya terlebih dahulu," ucap guru perempuan.
Gio menoleh ke arah lapangan. Langkahnya pasti menuju para murid itu berbaris. Tujuannya adalah sang anak yang kini terlihat sangat pucat.
Seakan sadar bahwa ada yang menghampirinya, Aji menoleh. Ditatapnya Gio dengan ekspresi terkejut. "Papa?"
"Ayo, pulang."
***
Aku update karena hari ini aku ulang tahun hehe. Anggap aja kado dari aku ❤️❤️❤️
14 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...