Aji berlari cepat memasuki bandara. Langkahnya terhenti ketika melihat pesawat yang baru saja lepas landas. Dilihatnya jam di ponselnya dengan kesal.
"Sial!" Tangannya mengacak rambut dengan kesal.
Ponsel di tangannya berdering. Ada foto kakaknya di sana. Setelah menekan tombol hijau, ia berkata, "Aku udah di dalem, gak jauh dari pintu masuk."
Sambungan telepon pun diakhiri sepihak. Lelaki itupun duduk di bangku yang disediakan. Perasaan kesal menyelimuti dirinya.
"Dek." Seorang perempuan menghampirinya. "Ayo pulang."
Tanpa banyak bicara, Aji yang masih menggunakan seragam sekolah lama yang hanya ditutupi jaket, berdiri. Wajah masamnya yang tak bisa ia sembunyikan membuat wanita berparas cantik di dekatnya tersenyum.
"Gak apa-apa, masih bisa ketemu lagi." Wanita bernama Mel itu menepuk pundak anak lelakinya.
"Ini gara-gara Miss Saras!"
"Gak usah nyalahin siapa-siapa. Lain waktu bisa ketemu lagi." Perempuan yang tadi menghampirinya lebih dulu, ikut menasehati.
"Aku belum sempet cerita ke Kaela tentang hari ini." Aji menekuk wajahnya.
"Ada Fiqa, dia kan juga kakak kamu." Mel kembali bicara.
"Ah, Kafi mana mau dengerin cerita aku."
"Kamu kalau cerita, yang gak penting, sih!" Perempuan bernama Fiqa itu menjulurkan lidahnya.
Teringat sesuatu, Aji menatap lekat wajah Fiqa. "Kafi kapan balik ke Singapura?"
"Lusa."
Raut wajah Aji terlihat sedih. "Kenapa cepet banget? Aku sendirian di rumah."
"Yuk, kita pulang aja," ajak Gio yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraan keluarganya.
*
"Iya, tadi aku nangisin anak cewek. Padahal gak aku apa-apain, tiba-tiba nangis."
"Sama kayak Papa kamu itu, dulu waktu sekolah sering bikin nangis anggota ekskulnya," ucap Mel dengan nada mencibir.
"Kamu mau nanti aku ditangisin cowok lain?"
Pertanyaan Fiqa berhasil membuat Aji membeku. Sejak dulu, ia tidak mau membuat nangis anak perempuan, takut jika kedua kakak perempuannya ditangisi oleh lelaki lain. Bagaimana bisa ia melupakan prinsip hidupnya itu?
"Dia ngatain warna kulit temen aku. Padahal, itu kan pemberian Tuhan."
"Namanya juga manusia." Fiqa menyandarkan kepalanya pada kaca mobil.
"Tadi juga ada, mau minjem penghapus pake nanya agama aku dulu. Ih, kenapa sih temen-temen kelas aku ini?"
"Kamu masih make penghapus?" Fiqa menegakkan posisi duduknya. Menatap heran pada adik lelakinya.
"Waktu itu aku iseng aja beli, taunya beneran kepake. Padahal di sekolah lama, kertas aja udah gak dipake."
Aji kembali teringat tentang hal-hal yang selalu ia abaikan tentang sekolah lamanya. Seperti, tidak lagi menggunakan kertas, alat makan yang bukan terbuat dari plastik, dan berbagai hal kecil lainnya yang kini ia rindukan.
"Kamu, tuh. Gak usah bandingin private school sama public school. Jelas jauh beda," ujar Gio.
"Tapi, kenapa banyak yang nanya tentang hal privasi, Pa? Miss Saras aja kemarin nanya Papa kerja apa." Aji menatap penuh tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...