Bab 39

5.4K 1K 424
                                    

Hari-hari berikutnya, Aji mencoba untuk bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Seolah fakta tentang Fiqa yang mengonsumsi narkotika tidak pernah ada. Aji hanya melakukan rutinitasnya seperti biasa. Berangkat sekolah di pagi hari dan mengikuti kegiatan latihan di sore hari.

Hari perlombaan semakin dekat. Aji dan teman-temannya semakin giat berlatih fisik dan menyiapkan mental mereka. Dua hari sebelum lomba, Mel datang ke sebuah lapangan yang disewa olehnya untuk dipakai anaknya berlatih.

"Duh, nyokap gue ngapain lagi ya ampun. Gue malu," gumam Aji.

Kedua matanya melihat Mel yang berbicara pada Jenal.

"Cuma mau mantau aja kali, Ji. Ini lapngan kan disewa sama nyokap lo," ucap Arnaldo.

Tak lama kemudian, Jenal berteriak, "Semuanya! Sini ngumpul!"

Hitungan detik, para remaja laki-laki itu berkumpul di pinggir lapangan, tempat Jenal berdiri.

"Yang gue sebut namanya, sebutin nomor sepatu kalian, ya."

Aji menoleh ke arah kanan, dilihatnya Mel dengan wajah cerianya yang sedang berbincang dengan Yogi.

"Oke, makasih. Kalian boleh lanjut istirahat," ucap Jenal ketika sudah mendata ukuran sepatu teman satu timnya.

"Saya nggak, Kak?" tanya Aji dengan bingung.

"Nyokap lo gak minta."

"Duh. Mama mau ngapain lagi ya ampun." Aji terduduk, jemarinya memijat kening, merasa pusing.

Setelah mendapat selembar kertas dari Jenal yang berisi data nomor sepatu tim basket, Mel melipir pergi.

"Kenapa lo, Ji?" Damar menghampiri, duduk tebat di sisi temannya.

"Pusing."

"Mikirin lomba? Santai aja. Gak usah tegang. Menang atau kalah juga sama aja. Ini lomba pertama lo di SMA, kan?"

Aji mengangguk, kepalanya bersandar pada jaring besi pembatas antar lapangan. Kepalanya menloleh ke arah Damar. "Menurut lo, gue pantes untuk gabung di tim ini?"

"Maksud lo apaan nanya gitu? Lo suka olah raga, udah paling cocok lo di sini."

"Gue takut ngecewain aja." Aji menghela napas. Kini, pandangannya beralih pada pintu lapangan.

Setelah apa yang kedua orang tuanya korbakan, bagaiamana jika hasilnya mengecewakan?

"Jangan sampe rasa takut lo itu menguasari diri lo."

Kini, Aji mengacak rambutnya. Pandangannya pun tak sengaja menatap pintu masuk lapangan. Di sana, sudah ada Mel yang datang dengan dua orang dewasa yang tidak pernah Aji lihat sebelumnya. Dua pria itu terlihat membawa tumpukan kardus, dibantu dengan alat dorong barang.

"Nyokap gue ngapain lagi, sih? Gue malu."

Damar mengikuti arah pandang temannya. Iapun terkekeh. "Itu sepatu, ya?"

"Semuanya! Yuk, kumpul lagi, yuk!" Jenal berteriak.

Mau tak mau, Aji yang sedang merasa malas itu berdiri, menghampiri kunpulan anggota timnya.

"Yang dipanggil namanya, ke sini, ya," ucap Mel dengan senyuman di wajahnya.

"Mama ngapain?" tanya Aji dengan ekspresi wajah frustasi. Ia merasa pusing melihat ibunya terus menerus menghamburkan uang demi tim basket sekolah.

"Ini sepatu. Katanya, ini paling bagus buat dipake olah raga, termasuk basket." Mel mengambil sebuah kardus, membuka tutupnya, dan memperlihatkan bentuk sepatu itu kepada teman-teman anaknya.

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang