Bab 64

3.8K 509 76
                                    

Waktu berjalan dengan dengan begitu cepat. Fakta bahwa Qila merupakan orang yang terkenal di Australia membuat segala unggahannya di media sosial memiliki daya tarik tersendiri. Tak jarang ia mengunggah kehidupannya di negara asalnya. Meski begitu, kehidupannya sangat privasi. Tidak ada yang mengetahui akun media sosial adik-adiknya, kecuali teman-teman dekatnya.

Keaktifannya membuat konten, membuat namanya semakin terkenal di negara tempatnya berkuliah. Rasanya, ia sangat merindukan teman-temannya di sana.

"Qila, lanjut sekolah bareng, yuk!" Fiqa menghampirinya yang sedang mengedit video.

Pandangan Qila beralih, menatap saudara kembarnya. "Di mana?"

Lawan bicaranya tampak berpikir. "Belum kepikiran, tapi aku pengen Korea, sih."

Qila tersenyum tipis, sangat paham bahwa kembarannya itu sangat menyukai Korea. "Kalau tahun besok, gimana? Aku pengen nunda dulu, fokus sama toko kue."

"Gak masalah, yang penting kita satu kampus, ya!" Fiqa berucap dengan semangat.

Melanjutkan editan videonya, Qila mengangguk. "Iya."

"Udah tau gak bisa kepisah, kenapa kemarin misah negara?" Aji yang baru datang, menyambung obrolan.

Fiqa terdiam. Ekspresinya berubah.

"Aku gak keterima di Singapura, Fiqa gak keterima di kampus aku," ucap Qila, "kayaknya pertanyaan ini udah dijawab berkali-kali, deh."

Aji tertawa kecil. "Nanti nikahnya bareng nggak?"

"Iya!" ucap Fiqa dengan semangat. "Aku yang bikin konsepnya!"

Qila tertawa. "Aku mau yang mewah."

Aji menoleh pada Fiqa, "Kak, aku boleh nyimpen video di akun Kakak? Laptop aku error."

"Pake aja, kamu tau sandi e-mail aku."

Anak lelaki itupun melangkah pergi menuju kamarnya, menyalakan laptop dan memindahkan semua video yang berhasil ia ambil dari komputer di rumah Nadya. Video-video yang belum sempat ia tonton itu akan ia amankan.

Setelah selesai memindahkan semua video, jemarinya tidak sengaja menekan kotak masuk e-mail milik Fiqa yang telah wanita itu beri bintang. Akun yang jarang dipakai oleh si pemilik itu hanya memiliki sedikit pesan masuk. Pandangannya pun menangkap fokus pada nama kampus Qila.

Dengan penuh penasaran, ia membukanya.

Dear, Afeeqa Alvarendra.

Congratulations!

Dengan ekspresi yang terkejut, Aji membaca seluruh pesan yang menyatakan bahwa Fiqa diterima di kampus yang sama dengan Qila. Pikirannya pun melayang, selama ini kakaknya itu selalu mengatakan bahwa ia tidak diterima di kampus manapun kecuali sebuah kampus di Singapura yang menjadi tempatnya menimba ilnu bersama dengan kekasihnya, Ervano.

Aji tidak tahu harus beraksi bagaimana setelah ini. Mengapa Fiqa harus menutupi ini semua? Bukankah kedua kakak kembarnya tidak bisa terpisahkan?

"Dek, bisa?" Suara Fiqa terdengar.

Anak lelaki itu mendongak, menatap sang kakak dengan ekspresi kesal. "You lied to me." Merasa marah karena dibohongi.

Terkejut sekaligus panik dirasakan oleh Fiqa. Segera ia mendekat, menatap layar laptop. Surel yang selama ini ia tutupi dari keluarganya, telah diketahui oleh sang adik. Dalam hati ia merutuki dirinya yang tidak segera menghapus surel itu ketika menerimanya empat tahun yang lalu.

"Kalau emang mau satu kampus sama pacar, setidaknya bilang lah, Kak."

Fiqa terdiam. Aji baru saja membantunya mendapat alasan yang tepat.

Perempuan itu menunjukkan senyum palsu. "Lagian, kampusnya Qila juga mahal banget. Kasian, Papa."

Aji mengangguk, paham. Biaya kuliah di luar negeri memang tidak murah. "Papa tau?"

"Jangan kasih tau siapa-siapa!" ucapnya panik.

Kening anak lelaki itu mengeryit.

"Kamu mau apa? Tapi jangan kasih tau siapa-siapa."

Ekspresi sang adik berubah menjadi senyuman licik. "Merek mobil-mobilan koleksi aku baru ngeluarin model terbaru, tapi limited stock."

"Oke. Deal," ucap Fiqa.

***

Waktu makan malam telah tiba. Seperti biasa, Keluarga Alvarendra selalu berkumpul di meja makan.

"Fiqa, orang tuanya Ervano masih di Eropa?"

Anggukan menjadi jawaban yang diberikan oleh Fiqa. "Kenapa?"

"Kebiasaan Fiqa, kalau ditanya, jawab pake suara," tegur Gio.

Qila tersenyum tipis. "Aku liat kok, Pa."

"Tau nih, Papa ribet," saut Fiqa.

"Papa kan cuma ngingetin, Kak," bela Aji.

"Udah, gak usah diperpanjang." Mel mengingatkan.

Qila menghela napasnya. "Dia mau ngelamar aku, katanya."

Seluruh pandangan mata terfokus pada perempuan berambut coklat kemerahan itu.

"Dia siapa?" tanya Aji.

"Oh, aku biasa pake kata ganti kalau lagi ngomongin pasangan sama Fiqa." Qila menjelaskan.

"Oh, bagus, dong. Akhirnya ada yang mau serius sama kamu." Gio berucap santai. "Minta dia bawa orang tuanya buat ketemu Papa."

Fiqa tersenyum miring. "Cole juga mau serius, Papa aja yang gak ngerestuin."

Qila memejamkan matanya. Menarik napas dalam, dan menghembuskannya. "Fiqa, udah."

"Sorry," gumam kembarannya.

"Dia minta rambut aku warnanya diubah ke warna asli," lanjut Qila.

"Bilang aja itu warna rambut asli kamu, kan Nenek asli Rusia." Mel memberi saran.

"Iya, lagian ribet banget," ketus Fiqa.

"Tubuh Kaela, ya urusan Kaela. Orang lain gak berhak ikut campur." Aji ikut memberi suara.

"Gimana pun juga, kalau Qila nerima lamarannya. Dia akan jadi suami Qila, udah sepatutnya Qila patuh sama dia." Gio menengahi.

Detik itu juga, Mel dan Fiqa sama-sama meletakkan alat makannya.

"Ya tapi gak seharusnya ngatur tubuh Kaela, dong. Aji kalau punya istri, gak mau ngatur tubuhnya dia." Anak lelaki itu membela.

"Tau apa kamu soal pernikahan?" Pria itu menatap anak lelakinya.

Aji bungkam. Kini, ia menatap iba kepada Qila. "You deserve better."

Qila memaksakan senyumnya. "Everything will be okay."

***

Segini dulu ya guys ya. Maaf udah lama gak update. Xx

30 April 2023

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang