Langkah kaki Fiqa menuruni anak tangga. Kepalanya menoleh ke arah kiri, tempat di mana meja makan berada. Di atas sana terdapat beberapa Apel Fuji, buah kesukaan Aji. Juga terdapat empat paper bag coklat dengan logo restoran yang serupa dengan pemberian Qila pada adik lelakinya siang tadi.
"Mama gak masak?" Adalah pertanyaan yang keluar dari mulut gadis itu ketika melihat Gio yang muncul dari dapur.
Pria itu menoleh sekilas. Kakinya tetap melangkah menuju meja makan. "Papa cuma lagi kebetulan lewat aja tadi."
"Permintaan maaf," gumam Fiqa disertai ekspresi menyeringai.
"Tolong panggil Aji."
"Aji belum tentu mau makan itu."
Kini, Gio menatap anaknya. "Tolong panggil Aji."
Fiqa kembali melangkahkan kakinya menuju lantai atas. Tak lama, ia kembali dengan adiknya yang memasang ekspresi masam. Di meja makan, sudah ada Mel yang menyambut kedua anaknya dengan senyuman.
"Aji masih kenyang," ucap anak lelaki itu tanpa duduk di bangkunya.
"Kamu belum makan siang. Makan dulu sedikit, ya? Nanti kamu sa--"
"Aji masih kenyang."
Gio menatap tajam. "Jangan potong ucapan orang lain," ucapnya tegas.
"Maaf, Ma." Ia menundukkan kepalanya.
Mel tersenyum. "Kamu mau makan, gak?"
Yang ditanya menggelengkan kepalanya.
Masih dengan senyum di wajahnya, wanita itu berkata, "Iya, gak apa-apa."
"Aji ke kamar, ya." Anak laki-laki itu melangkah pergi.
"Bener, kan? Aji gak akan mau makan," cibir Fiqa.
"Gak apa-apa, dia masih sedih." Mel berusaha menengahi suami dan anaknya.
"Biasa dimanjain. Jadi ngelunjak," bisik Gio.
"Aji masih anak kelas satu SMA yang emosinya belum stabil. Bukannya Papa tau kalau dia gak mau makan berarti suasana hatinya lagi gak baik?" Mel menatap kesal suaminya.
"Karena dia masih kelas satu SMA, seharusnya kita bisa didik dia dengan baik." Gio mengepalkan tangannya. Matanya menatap lantai yang ia pijak.
"Didikan kayak gimana yang menurut Papa baik?" Wanita itu menekan kata terakhirnya.
Tak tahan melihat kedua orang tuanya bertengkar, Fiqa berdiri dan melangkah pergi.
Mel menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Setelah Qila, mau siapa selanjutnya? Fiqa atau Aji?"
"Ma," tegur Gio.
"Mama mau tidur di kasur Qila malem ini." Wanita itu meninggalkan suaminya sendiri di meja makan.
Kakinya melangkah menuju kamar Aji. Setelah mengetuk pintu, ia masuk ke dalam dan mendapati anaknya yang sudah memejamkan mata dengan sebuah foto ketiga anaknya di tengan kanan.
Mel tersenyum. Menarik selimut hingga menutupi bagian dada anaknya. Tangan kanannya mengusap lembut pipi Aji. Ditatapnya wajah anak laki-lakinya itu. Ada banyak penyesalan yang ia rasakan.
Seandainya ia mampu lebih berani, anak-anaknya tidak perlu merasakan masa sulit yang diperbuat oleh ayah mereka sendiri.
"Kangen sama Kaela, ya? Mama juga, sayang. Kamu bantu doa, ya. Supaya Kaela bisa cepet selesai, kita bisa kumpul kayak dulu lagi."
Aji membuka kedua matanya. "Mama kecewa punya anak kayak Aji?"
"Kamu pura-pura tidur?" Mel mencubit gemas hidung mancung anaknya. "Mama gak pernah kecewa sama kamu, sayang. Apapun yang kamu lakuin, mama di sini. Gak usah ragu buat bicara sama Mama, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...