Bab 33

7.5K 1.2K 301
                                    

KOMEN YANG BANYAK BIAR AKU SEMANGAT NGETIK HEHE

KALAU ADA PERCAKAPAN BAHASA INGGRIS, CEK KOLOM KOMENTAR, AKU TERJEMAHIN

***

"Maaf, Pak. Saya harus bersihin luka Aji."

"Saya bilang, jangan sentuh anak saya! Saya gak percaya sama kemampuan tenaga kesehatan di sekolah ini!"

"Tapi, Pak," ucapan guru itu terpotong.

Gio melangkah masuk. "Setitik aja Ibu sentuh anak saya, saya tuntut sekolah ini!"

Aji menatap wajah Gio yang terlihat begitu marah. Kedua matanya tak sengaja melihat ke arah pintu UKS yang tidak ditutup oleh ayahnya. Banyak siswa yang sedang menyaksikan dengan wajah penasaran.

"Istri saya sebentar lagi sampe. Ibu bisa meninggalkan ruangan ini," ucap Gio dengan nada yang lebih tenang.

Guru pembimbing dan Ketua Eskul PMR itu meninggalkan ruangan dan menutup pintu. Damar ikut berdiri, hendak meninggalkan Ruang UKS.

"Kamu di sini aja," ucap Gio.

Kini, pria itu menatap anaknya. Aji pun menundukkan kepalanya, merasa tak siap menghadapi kemarahan sang ayah.

Damar yang menyadari situasi, menggeser posisi duduknya, menjauhi Aji.

Gio mendekati dirinya dengan sang anak. Disentuhnya dagu Aji, membuat anak lelaki itu mendongak. Dengan begitu, ia dapat melihat dengan jelas wajah anaknya.

Terdapat luka lebam di tulang pipi kanan, sudut bibir yang mengeluarkan darah, bekas darah di dekat lubang hidung. Kedua mata Gio beralih menatap jemari Aji yang sedang menggenggam tisu.

Gio mengambil tisu itu. Ada bekas darah. Tanda bahwa Aji mengeluarkan darah dari hidungnya. Ia mengambil satu langkah mundur, kedua matanya memerhatikan seragam sekolah sang anak. Ada beberapa tetesan darah.

Pria itu menarik napas dalam dan menghembuskannya. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan kirinya menyentuh bagian belakang kepala Aji. Keningnya ia tempelkan dengan kening Aji, kedua matanya terpejam.

Anak lelaki itu ikut memejamkan matanya, jantungnya berpacu dengsn begitu cepat. Ia sangat takut.

Takut dengan kemarahan sang ayah yang tidak bisa ia duga. Takut dengan reaksi kecewa sang ibu. Takut kedua kakaknya tahu. Rasanya, ia telah menjadi anak yang mengecewakan.

Tanpa sadar, air matanya menetes.

Gio yang menyadari hal itu, menjauhkan wajahnya.

"Kamu nangis."

Aji membuka matanya, sebisa mungkin ia tidak menatap wajah Gio.

"Kenapa kamu nangis?" tanya pria itu, masih menatap wajah sang anak.

Tidak ada jawaban.

"Kenapa kamu nangis?" Gio kembali bertanya dengan nada yang lebih tegas.

Di bagian depan gedung sekolah, Mel dengan ramah menyapa para staff yang berkerja di bagian lobi.

"Maaf, Bu. Ada perlu apa, ya? Kami gak nerima kunjungan dokter tanpa surat izin resmi."

Detik itu juga, Mel baru menyadari jika ia masih meggunakan jas putih dan mengalungkan stetoskop. Ia baru saja memasuki rumah ketika suaminya mengabari untuk segera ke sekolah anak terakhirnya.

"Di mana adik saya?!" tanya Fiqa tanpa basa-basi.

"Saya orang tua Arazzi," jawab Mel, berusaha tetap ramah.

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang