"Kak, aku aja." Aji menghampiri kedua kakaknya.
"Apa?" Fiqa menoleh.
"Aku yang masak." Lelaki itu hendak melangkah ke arah dapur ketika Qila menghadangnya.
"Kamu kenapa?" tanya Qila tanpa basa-basi.
Sebagai anak pertama, Qila menjalankan perannya dengan sangat baik. Ia hapal kebiasan adik-adiknya. Aji tidak akan memasak menu makanan untuk keluarga jika sedang tidak merasa bersalah.
Mel berjalan dari arah halaman belakang rumah. "Kalian ngapain di dapur? Nanti papa bawa makanan."
Dengan tatapan tajamnya, Qila memerhatikan anggota keluarga satu persatu. Batinnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang baru saja terjadi.
Tidak kuat untuk menahan, Fiqa bersuara, "Tadi dari rumah bunda."
Ekspresi Qila berubah menjadi datar. Mereka yang baru mengenalnya, selalu mengatakan bahwa ia adalah seseorang yang dingin dan tanpa ekspresi. Nyatanya, hanya pada Fiqa dan Aji ia akan berubah menjadi perempuan periang.
"Bunda ngunciin Dedek di kamar," lanjut Fiqa.
Kedua mata Qila membulat. Rasa tidak terima menyelimuti dirinya. Setelah menyakiti kedua sepupunya, kini Nadya mengambil langkah maju. Tubuhnya membeku. Kedua matanya menatap Aji dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Mel merangkul pundak anak pertamanya. Diusapnya pundak itu dengan lembut. "Kamu baru sampe, mandi dulu, yuk?"
Wanita itu melangkah menuju lantai atas dengan kedua tangannya yang masih merangkul sang anak.
***
Aji mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Kepalanya menoleh, dilihatnya Qila yang berdiri di depan pintu yang tidak tertutup itu.
"Hai. Aku boleh masuk?" tanyanya dengan ramah.
Anak lelaki itu mengangguk. "Boleh."
Qila melangkah masuk, kemudian duduk di atas kasur. "Every feelings are valid."
Aji menjeda film kartun Jepang yang sedang ia tonton. Menghela napas, ia menundukkan kepalanya.
"Care to explain?"
Anak lelaki itu tahu kemana arah percakapan di antara keduanya.
"It was my fault."
Qila memerhatikan sang adik.
"Aku minjem komputernya Om Avlar, tapi aku liat-liat isinya, bunda marah."
"Kamu liat apa?"
"Video."
"Look at me."
Aji mendongak, menatap kedua mata perempuan di depannya.
"Video apa?"
"Kaela." Lelaki itu mengambil jeda sebelum mengucap kalimat selanjutnya. "Kafi."
"Terus?"
"Bunda tiba-tiba masuk, narik aku keluar, ngunciin aku di kamar."
Qila memeluk sang adik, memberikan rasa nyaman pada anak lelaki itu. "Pasti kamu takut, ya? Gak apa-apa, ada aku. Sekarang kamu aman."
Aji meremas baju bagian belakang Qila dengan erat. Pikirannya kacau. Ia hanya terkejut dengan perlakuan Nadya, tetapi ia merasa takut dengan reaksi Fiqa. Dalam dekapan erat, ia terus memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, mengapa Nadya seolah menyembunyikan video-video di komputer milik Avlar.
Suara ketukan pintu terdengar, membuat keduanya melepas pelukan.
"Papa udah pulang." Suara Fiqa memecah keheningan. "Makan malamnya dimajuin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...