Bab 24

10.6K 1.3K 454
                                    

"Ayo buka, Pa. Aku penasaran banget!" Fiqa duduk di atas lantai dengan bantal sofa di atas pangkuannya.

Di atas sofa ada Mel yang merangkul pergelangan tangan Gio. Di sampingnya, Aji hanya memasang wajah datar. Ia memiliki firasat buruk tentang hasil ujiannya.

Tanpa butuh waktu lama, Gio sudah mengeluarkan surat dari dalam amplop. Tertera jelas nilai hampir sempurna pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Disusul oleh nilai Matematika. Selanjutnya Fisika yang nilainya sama dengan Kriteria Ketuntasan Minimal.

Untuk pelajaran yang lainnya, ia mendapatkan nilai merah.

Fiqa menatap wajah kedua orang tuanya. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dilihatnya Aji yang kini hanya memandang kosong arah di depannya.

Mel melepas rangkulan tangannya pada Gio. Tangannya baru saja ingin mengusap pundak Aji, tetapi anak itu sudah lebih dulu beranjak dan pergi meninggalkan ruang keluarga.

Gio memijat hidung bagian atasnya. "Dari awal Aji bilang mau sekolah di sana, Papa udah tau ini bakal kejadian. Papa gak masalah dia mau sekolah di sekolah seperti apa. Kurikulum sama sistem belajarnya yang jadi masalah."

Mel mengusap pundak sang suami. "Sabar, Pa. Gak usah diambil pusing, pelan-pelan."

"Gimana gak pusing? Gimana sama masa depan dia nanti? Dia biasa dapet kurikulum internasional, milih sekolah yang make kurikulum nasional."

Fiqa memindah posisi duduknya menjadi di samping Gio. "Dedek pasti lagi sedih banget, Pa. Dia pasti kaget. Sama kayak Papa, atau mungkin lebih parah. Jangan marahin Dedek ya, Pa?"

Pria itu menghela napasnya. "Papa gak janji."

Tanpa pikir panjang, Fiqa melangkah pergi menuju kamarnya. Tangannya segera meraih gawai, mengetik sesuatu di atas sana, membuat panggilannya dengan Qila tersambung.

"Halo?"

Jantung Fiqa berdebar. Ada rasa sesak di dalam dadanya. Hatinya ingin sekali langsung bercerita apa yang terjadi, tetapi otaknya menolak. Takut jika itu akan memengaruhi kegiatan saudara kembarnya di sana.

"Halo?" Qila kembali mengulang ucapannya.

"Qila...." Suaranya gemetar.

"Nilai dedek, ya? Gimana sama reaksi papa?"

Fiqa menangis. Ingatannya kembali kepada masa kecilnya. Masa di mana papa adalah sosok yang sangat menakutkan di matanya. Suara lantang dengan mata melotot dan ekspresi marah. Otaknya masih merekam jelas tiap-tiap kejadian yang ia lihat sendiri.

Qila menghela napas panjang. "Iya, aku bilang ke papa. Teleponnya aku matiin, ya."

Sambungan terputus. Fiqa kembali menelepon seseorang. Tujuannya saat ini adalah Ervano, sang kekasih.

***

Di kamarnya, Aji melamun. Pikirannya sangat kacau. Ia masih begitu terkejut dengan nilai yang ia terima dan juga reaksi kecewa dari keluarganya. Merasa sangat bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

Pintu kamarnya diketuk dari luar. Jantungnya berdebar. Kepalanya menunduk, takut.

Mel muncul dari balik pintu, tersenyum. "Mama buatin jus mangga buat kamu. Diminum, ya?"

Wanita itu memberikan gelas di tangannya pada Aji.

"Makasih, Ma."

"Gak apa-apa." Mel duduk di samping anaknya, mengusap pundak anak itu. "Gak usah terlalu dipikirin. Udah kejadian. Fokus kamu sekarang perbaiki ke depannya."

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang