Bab 56

4.8K 783 87
                                    

Sudah hampir satu minggu setelah Qila menerima permintaan Gio untuk mengenal salah satu anak dari temannya. Sejak saat itu, Fiqa melampiaskan perasaannya pada gambar yang ia buat di kantor. Fokusnya masih terpaku pada gambarnya yang ke sekian, meski sudah membuat ratusan desain, ia tak pernah merasa lelah.

"Fiqa?"

Perempuan itu tidak menoleh.

"Hey, Fiqa?"

Dengan ekspresi terkejut serta jantung yang berdetak cepat, Fiqa menoleh. Dilihatnya salah seorang teman satu divisi yang sedang menatapnya.

"Iya?" tanyanya setelah berhasil menetralkan ritme napasnya.

"Kita semua dipanggil ke ruangannya Pak Gio."

Fiqa memerhatikan seisi ruangan tempat kerjanya. Sepi.

"Kenapa?" tanya perempuan itu dengan bingung.

"Kayaknya masalah desain. Lo tau sendiri cuma divisi kita yang berhubungan langsung sama Pak Gio karena beliau ngerti tentang seni." Orang itu, lelaki yang usianya tiga tahun lebih tua dari Fiqa, menarik lengan perempuan itu. "Ayo, yang lain udah duluan."

Fiqa melerakkan gawainya di atas meja. Setelah merapikan pakaiannya, iapun menyusul langkah temannya. Sepanjang perjalanan menuju ruangan Gio, para anggota divisi itu melangkah dengan jantung yang berdebar cepat dan kepala yang terus berasumsi tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bu Mega selaku pimpinan divisi, mengetuk pintu ruangan, kemudian membukanya. Terlihat jelas Gio yang duduk di atas kursinya dengan tatapan kesal. Menyadari hal itu, seluruh anggota divisi desain, menudnukkan kepala, kecuali Fiqa.

"Saya minta desain yang ceria untuk anak-anak. Kenapa ada desain yang terkesan gelap begini?" Tanpa basa-basi, Gio bersuara dengan nada kesal.

Fiqa memperhatikan ruangan milik pimpinan tertinggi perusahaan itu. Banyak beberapa lukisan yang ia buat ketika kecil dijadikan hiasan ruangan. Di atas meja, ada sebuah foto keluarga yang berhasil menarik perhatiannya.

"Gambar siapa ini? Siapa yang bertanggungjawab atas gambar ini?!" Dibantingnya beberapa lembar kertas ke atas lantai.

"Maaf, Pak. Itu gambarnya Fiqa," ucap salah seorang anggota divisi itu.

Masih dengan tatapan kesal, Gio menatap Fiqa yang masih terfokus pada foto keluarga. Sepasang suami istri dengan dua anak kecil perempuan dan seorang balita laki-laki tersenyum bahagia. Sayangnya, ia tidak ingat kapan foto itu diambil.

Dalam ingatannya, Qila tidak pernah tersenyum sebahagia itu sejak Aji lahir hingga beberapa tahun kemudian. Tetapi, di foto itu Aji terlihat berusia sekitar satu tahun.

"Fiqa, saya bicara sama kamu," ucap Gio dengan nada menahan amarah.

Pandangannya mengikuti kemana arah pandang Fiqa. Detik berikutnya, ia menyingkirkan foto keluarga itu dari atas meja. Refleks, perempuan itu mendongak, menatap pria di hadapannya.

"Saya minta kamu untuk jelasin maksud dari gambar ini." Gio berucap dengan tegas.

Fiqa menatap hasil tangannya yang kini sudah berserakan di atas lantai. Ia menghela napas, diambilnya secara acak salah satu gambar itu. Hanya sebuah guratan dengan warna-warna gelap.

"Bapak yakin mau dengerin penjelasan saya?" Perempuan itu menatap pria di hadapannya.

Gio menatap dengan ekspresi serius, mengangguk.

"Waktu membuat gambar ini, saya berpikir tentang seseorang. Orang yang selalu melindungi orang lain, rela berkorban nyawa demi orang lain. Tapi waktu dia butuh pertolongan, gak ada yang bisa bantu dia, mereka yang lemah, gak punya kuasa. Sedangkan mereka yang kuat, seolah tutup mata."

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang