Langkah kaki Gio terus terhentak, melangkah memasuki rumah. Ekspresinya terlihat sangat kesal. Sejak tadi, ia menahan amarahnya. Di belakangnya, Aji berjalan santai, memeluk papper bag dengan senyum di wajahnya.
Keduanya menghentikan langkah tepat di depan tangga menuju lantai atas. Gio mengetuk anak tangga pertama.
Dengan cepat, Aji meletakkan tas sekolah dan ponsel miliknya.
"Semua."
Anak lelaki itu menggeleng. Genggamannya semakin erat memeluk papper bag.
"Kamu gak denger?" Nada suaranya terdengar tegas.
"Ini dari Kaela," jawabnya pelan.
"Papa gak peduli. Letakin semua barang kamu sebelum naik ke atas." Pria itu menatap tajam anaknya yang hanya menundukkan kepala.
"No."
Gio menghela napasnya dengan kasar. "Papa gak mau main kasar sama kamu, tolong ngerti."
Aji bungkam. Jemari kakinya terus bergerak, tanda jika ia merasa gelisah.
"Kamu udah nyelekain anak orang seharusnya kamu sadar!"
Anak lelaki di hadapannya itu mendongak. Wajahnya mulai memerah. Perasaan kesal menguasai dirinya karena lawan bicaranya telah membela orang yang telah menyakiti hatinya.
"Dia ngatain Kaela, Pa! Aji gak terima! Harusnya Papa ngerasain hal yang sama kalau emang beneran sayang sama Kaela!"
Gio merampas papper bag dari sang anak dan menghempaskannya secara asal.
Aji ternganga. Baginya, makanan itu sangat berarti. Bukan karena harga, melainkan dari siapa makanan itu ia dapat. Makanan itu mampu mengobati sedikit rasa rindunya pada sang kakak yang masih berjuang untuk menyelesaikan sekolahnya di negeri orang.
"Kaela ... sorry." Anak itu berkata dengan lirih, pandangannya menatap papper bag yang mungkin kini isinya sudah tak berbentuk lagi.
"Gak ada Kaela di sini," ucap Gio.
Aji menatap sinis pria di hadapannya sebelum kakinya melangkah menuju kamar miliknya.
Melihatnya, Gio mengacak rambutnya. Merasa frustasi menghadapi anak lelakinya yang keras kepala. Kakinya pun melangkah menuju meja makan. Setelah duduk di salah satu kursi, ia menyadari jika ada sekotak pizza di atas meja.
Fiqa yang sejak tadi mengintip dari dapur, melangkah menuju meja makan dan duduk di sana.
"Kamu beli buat siapa aja? Ini terlalu besar porsinya buat kamu makan sendiri." Gio menoleh ke arah anaknya.
Fiqa menatap jemarin tangannya yang bersembunyi di bawah meja. "Qila yang kirim."
Gio menegakkan posisi duduknya, menunjukkan senyuman lembut dan berkata, "Qila gak ada di Indonesia, sayang. Dia gak bisa pesen dan kirim ini dari sana."
Pria itupun melirik jam tangan miliknya. "Papa mau balik ke kantor lagi, ya. Awasin adek kamu jangan sampe dia pergi dari rumah." Ia mengusap lembut puncak kepala anak perempuannya.
Fiqa tidak memberi respons.
"Sebentar lagi mama pulang," ucapnya lagi sebelum membalik tubuhnya.
Tepat saat pria itu melangkahkan kakinya, Fiqa berkata, "Papa gak pernah bener-bener suka Opa as your dad."
Langkah kaki Gio terhenti.
"Papa baik ke Opa cuma supaya aku, Qila, sama dedek tetep baik ke Papa setelah Papa udah gak muda lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...