Aji membuka kedua matanya. Mobil yang ia tumpangi telah berhenti di depan sebuah rumah. Tangan kanannya mengambil tisu, mengelap kedua matanya. Ia tidak ingat kapan dirinya tertidur.
Kepalanya menoleh ke arah kanan. Tidak ada Gio di sana. Pria itu pergi meninggalkan anak laki-laki dengan kondisi mesin mobil yang menyala dan pintu mobil bagian kursi pengemudi terbuka.
Kaca samping tempat Aji duduk diketuk dari luar, membuat anak itu terkejut. Kepalanya refleks menoleh. Sebuah senyuman terukir di wajahnya ketika menyadari siapa orang itu.
Dengan semangat, ia membuka pintu mobil.
"Bunda!"
Wanita itu tersenyum manis. Dipeluknya Aji dengan penuh kasih sayang.
"Capek banget, ya? Sampe tidur di mobil."
Anak laki-laki itu mengangguk. Kedua matanya melihat Gio yang baru saja keluar dari dalam rumah.
"Nad, balik kerja dulu, ya." Pria itu bergegas masuk ke dalam mobil, tanpa memedulikan anaknya.
Nadya melambaikan tangannya seraya kendaraan roda empat itu pergi menjauh.
"Papa diemin aku," bisik Aji dengan lesu.
Wanita berhijab di sampingnya pun merangkul. "Perasaan kamu aja, mungkin."
"Nggak. Aku emang salah."
***
"Jadi, kamu bikin salah apa?" Nadya meletakkan segelas air di atas meja.
"Aku ajak Fanya ke KT's deket sekolah buat ngehibur dia. Terus ketemu papa di sana." Aji menempelkan dagunya di atas lipatan tangannya.
Kening wanita di hadapannya mengernyit. "Masalahnya apa? Itu toko punya papa."
"Aku lupa izin, Bun."
Kini, Nadya menghela napasnya. Ita tahu jelas jika kakak kembarnya itu tidak suka dengan orang yang pulang sekolah tidak langsung pulang ke rumah tanpa izin.
"Tapi aku udah minta maaf." Aji mengangkat kepalanya. "Sebenernya papa juga gak izinin aku ke sini, makanya aku kaget waktu bangun udah di sini."
"Kamu udah minta maaf?"
"Udah." Kedua mata Aji menatap wanita di hadapannya. "Papa kalau udah marah banget, serem."
"Paling mentok, kamu gak diaku anak lagi, sih."
Melihat reaksi Aji yang kini kembali lesu, Nadya tertawa puas. "Bercanda, sayang."
Pandangan Aji terfokus pada sosok anak laki-laki yang berjalan mendekat. "Hei, Arion!"
Yang dipanggil tidak menoleh. Kakinya melangkah melewati meja makan.
"Bang Aji? Papa Gio mana?" Arvin melangkah mendekat.
"Masih ada kerjaan, jadi pergi lagi," jawab Nadya.
"Yon, sini. Gak kangen Bang Aji?" Arvin menatap adik kembarnya yang sedang mengambil minum.
"Kangen?" Aji terkekeh. "Perasaan, aku gak ke mana-mana, deh."
"Biasanya Bang Aji dateng ke sini hampir setiap hari. Sekarang udah nggak."
Kalimat itu mampu menusuk hati Aji. Ia sadar, setelah bersama Fanya, waktunya lebih banyak ia habiskan dengan gadis itu di sekolah. Bahkan, di rumah pun keduanya rutin berkomunikasi melalui gawai hingga waktu makan malam tiba. Setelah itu, ia baru belajar hingga memasuki waktu tidurnya.
Tidak ada waktu yang ia luangkan untuk mengunjungi sepupu kembarnya.
"Arion." Arvin menepuk pundak laki-laki yang baru saja melewatinya tanpa sedikitpun menoleh ke arah meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Genç Kurgu[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...