Malam harinya, Aji memberanikan diri untuk meminta pendapat Fiqa, kakaknya yang sangat cuek dan terkesan tidak menyayangi keluarganya sendiri. Sejak tadi, ia sudah menyusun kalimat apa yang akan disampaikannya.
Anak laki-laki itu menghela napas. Tangan kanannya mengetuk pintu kamar di hadapannya tiga kali. Tak lama, pintu itu terbuka.
"Aku mau cerita."
Fiqa mempersilakan adiknya masuk ke dalam kamar yang kini terlihat sangat berantakan. Aji duduk di atas kasur milik Qila yang masih terlihat rapi. Tanpa butuh waktu lama, bibirnya terus menceritakan segala hal yang terjadi tentang Firla.
"Jangan menjalin hubungan tanpa rasa kasih sayang." Gadis itu menatap lekat kedua mata adiknya. "Apalagi cuma karena demi dimaafin. Biar itu urusan dia sama Tuhan, yang penting kamu udah minta maaf."
Laki-laki yang sudah memakai pakaian tidurnya itu mengangguk. "Iya," katanya.
Kedua matanya beralih pada sebuah koper yang masih terbuka. Raut wajahnya terlihat sedih. Lagi-lagi, ia harus kembali merasa kesepian. "Sore, Kak?"
"Aku dapet tiket pesawat siang. Maaf." Fiqa merasa bersalah karena tidak berhasil mendapat jadwal penerbangan di sore hari.
"Besok aku gak mau sekolah. Nganter Kakak aja ke bandara. Waktu Kaela ke Australia aja aku gak berhasil nganter, masa Kafi ke Singapura aku gak nganter juga?"
Gadis itu tersenyum. "Gak apa-apa, kamu harus rajin belajar supaya dapet beasiswa. Masa udah berkorban masuk Public School, tapi gak berhasil dapetin beasiswa?"
Aji menghela napasnya. Apa yang dikatakan Fiqa ada benarnya. Dengan berat hati kakinya melangkah meninggalkan kamar kedua kakaknya itu dan kembali masuk ke dalam kamarnya.
*
Hari ini merupakan yang paling ditunggu oleh Aji. Hari di mana ia resmi menggunakan seragam putih abu-abu, seperti anak sekolah menengah atas pada umumnya. Sesuai dengan perkataan Fiqa, iapun menolak permintaan Firla.
Tentu, gadis itu dan teman-temannya murka. Namun, Aji tidak mengambil pusing. Baginya, semua orang pasti akan merasa sakit hati ketika cintanya ditolak.
Tunggu. Apakah Firla mencintai Aji?
Sejak tadi, Aji disibukkan dengan Kamus Bahasa Indonesia di hapenya. Hari ini, ia akan mengikuti Pelajaran Bahasa Indonesia. Tepat saat bel masuk berbunyi, Aji menekan tombol kunci pada layar hape.
Kakinya melangkah menuju bangku di belakang Fanya. "Hai, teman. Apakah kamu mau bertukar tempat duduk denganku untuk kali ini saja?"
Lana, laki-laki yang duduk tepat di belakang Fanya itu menahan tawanya. Baru kali ini ia mendengar Aji berbicara dengan sangat baku.
"Oke."
Aji tersenyum. Setelah memastikan Lana duduk tepat di bangkunya, iapun mencolek Fanya. "Nengok ke sini, dong. Sekali-kali."
Gadis itu menoleh. "Apa, sih? Gak penting banget."
"Jangan judes-judes, nanti suka."
Nakula yang duduk tepat di sebelah Aji hanya menggelengkan kepala. "Itu guru kita mau masuk, Ji."
Pandangan keduanya beralih pada jendela kelas. Seorang guru dengan penampilan yang begitu rapi, sedang berjalan menuju pintu kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...