Fiqa merangkul lengan kanan Aji. Kakinya mengikuti ke mana langkah adiknya itu pergi. Kepalanya bersandar pada pundak lelaki yang kini tubuhnya sudah melebihi tinggi badannya. Wajah sembabnya tak sekalipun ia tutupi. Rasanya, seluruh penghuni sekolah harus tahu jika ia sedang tidak baik-baik saja.
"Kak, tunggu sini, ya," ucap Aji ketika hendak memasuki ruang kelasnya.
Anak itu mengetuk pintu, seorang guru wanita mempersilakannya untuk masuk. Tanpa ia sadari jika Fiqa mengikuti langkahnya.
Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di depan tempat duduk milik Fanya. Kedua matanya fokus menatap ke arah di mana Damar duduk. Ada perasaan tidak terima ketika menyadari bahwa lelaki itu tidak memiliki luka separah adiknya.
"Ji." Felix memberi kode melalui matanya, meminta Aji yang sedang merapikan isi tas sekolahnya untuk melihat ke arah yang ia tunjuk dengan tatapan matanya.
Aji menoleh, mendapati Fiqa yang sedang melangkah pelan ke arah Damar.
"Kamu mukul adek aku," ucapnya dengan tatapan penuh kebencian.
Dengan cepat, Aji berlari menghampiri Fiqa. Menahan gadis itu supaya tidak melakukan hal di luar kendali.
"Kak, gak apa-apa. Aku baik-baik aja."
"Kamu berdarah."
"Damar juga berdarah, Kak." Aji berusaha untuk melindungi temannya dari amarah Fiqa. Ia sangat tahu bahwa kedua kakaknya bisa melakukan apa saja untuk melindungi adik lelaki mereka.
Fiqa menatap Aji dengan kesal. Belum sempat ia mengeluarkan kalimat selanjutnya, seorang pria dengan tubuh kekar memeluknya dari belakang dan membawanya paksa meninggalkan ruang kelas.
Pria itu, Ervano. Membawanya menuju toilet siswa yang berada di ujung koridor. Ia berusaha untuk menenangkan kekasihnya. Keduanya saling melempar argumen; Fiqa yang merasa dirinya melakukan hal yang benar dan Ervano yang merasa bahwa tindakan Fiqa sangat salah.
"Permisi," ucap seorang murid lelaki dari dalam toilet. Rupanya, sepasang kekasih itu tidak sadar telah menghalangi pintu toilet.
Murid lelaki itu terus melangkah menuju kelasnya dan duduk di bangku miliknya.
"Seharusnya mulut lo bisa dijaga. Gak usah ngadu aneh-aneh ke Damar lagi tentang Aji," ucap teman sebangkunya, Arnaldo.
"Gue gak tau kalau Damar bisa semarah itu sama Aji. Dia keliatan yang paling gak peduli ke orang lain. Gue juga kaget, Do." Murid lelaki itu, Sean, merasa menyesal telah gagal menjaga bicaranya.
Di luar ruang kelas, ada Fiqa yang sudah terlihat lebih tenang. Ia berjalan berdampingan dengan Ervano. Di depannya, ada Mel yang berjalan dengan Aji di samping kanannya. Tak lupa, Gio dan seorang guru laki-laki yang berjalan di paling depan, seolah memimpin ke mana mereka akan melangkah.
"Aji," panggil seseorang yang membuat Aji dan Mel menghentikan langkahnya.
Lelaki itu menoleh, dilihatnya Jenal yang mengulurkan sebuah amplop putih ke padanya.
"Apa ini?" Mel mengambil amplop itu.
Di belakangnya, Fiqa dan Ervano ikut menghentikan langkah mereka.
"Buka, Ma," ucap Fiqa.
Tanpa ragu, Mel membuka amplop itu. Selembar kertas izin orang tua tertera di sana. Wanita itu membacanya dengan serius. Senyumnya terukir, ditatapnya Aji dengan bangga.
"Kamu mau ikut lomba basket?"
Aji terlihat gugup. "Sebenernya ... itu kalau Mama ngasih izin."
Mel menatap Jenal. Masih dengan senyumnya, ia bertanya, "Kamu punya pulpen?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
أدب المراهقين[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...