Fiqa membuka kedua matanya. Pandangannya memerhatikan sekitar. Tubuhnya terbaring di atas sofa ruang keluarga milik Nadya. Samar-samar, ia mendengar suara lelaki berbisik. Kepalanya menoleh, dilihatnya Arvin dan Arion yang kini sama-sama menunjukkan ekspresi tegang.
"Aji mana?" Perempuan itu mengubah posisinya menjadi duduk.
Tidak ada jawaban.
Dengan jantung yang berdegub cepat, rasa khawatir menyelimuti Fiqa. Tangannya dengan cepat mengambil gawai, mengirim pesan kepada sang ayah, bertanya di mana lokasi adiknya.
Iapun berdiri, melangkah menyusuri kediaman Nadya. "Dedek?!" teriaknya di tiap sudut rumah.
Kakinya melangkah menuju lantai atas. Ada Nadya yang sedang berdiri di depan kamarnya.
"Bunda, dedek mana?"
Wanita itu tidak menjawab.
"Dedek! Kamu di mana?!" Kali ini, Fiqa berteriak dengan lantang.
Suara ketukan pintu terdengar dari salah satu ruangan di depannya.
"Dedek?!" teriaknya, memastikan.
Ketukan itu terdengar semakin cepat dan keras. Tanpa berpikir panjang, Fiqa mendekati sumber suara dan berusaha membuka pintu yang terkunci.
"Bunda, Dedek kekunci!" ucapnya panik.
Nadya hanya diam. Berdiri menatap keponakannya. Suara bel yang terdengar membuatnya melangkah turun menuju lantai bawah, membuka pintu utama.
"Hai, Nad." Mel, masih dengan setelan dokternya, menyapa dengan senyum manis. "Aku mau jemput anak-anak."
"Bukannya Gio yang mau jemput?"
Mel melangkah masuk. "Aku sekalian mau bawain makanan kesukaannya Arvin sama Arion." Ia menunjukkan dua paper bag dari sebuah merek puding terkenal.
Nadya mengikuti langkah wanita yang sudah menjadi sahabatnya sejak duduk di bangku putih abu-abu itu. Langkah keduanya terhenti di meja makan.
"Aku udah denger dari Qila." Mel meletakkan dua paper bag di tangannya ke atas meja. "Kamu lulusan Psikologi, seharusnya, kamu jauh lebih tau apa yang terjadi sama Qila."
"Arvin sama Arion anak aku," ucap Nadya.
Mel menghela napasnya. "Lebih baik saling mengingatkan, kan?"
"Aku tau apa yang terbaik buat anak-anak aku."
Perkataan yang sama persis seperti apa yang Gio katakan sejak dulu.
Kini, Mel menatap kedua mata saudara iparnya itu. "Rasa bersalah itu gak pernah hilang, selalu tumbuh, gak pernah pudar."
Tidak ada respons dari lawan bicaranya. Wanita itu memutuskan untuk melangkah menuju lantai atas. Tepat sebelum menginjak anak tangga pertama, langkahnya dihadang oleh Nadya.
"Qila, kenapa kamu gak angkat telepon aku?!" Suara Fiqa yang gemetar terdengar jelas.
Panik, Mel mendorong Nadya dan berlari menuju lantai atas. Dilihatnya Fiqa yang bersandar pada salah satu pintu dengan ekspresi takut yang terlihat jelas di wajahnya.
"Fiqa? Kamu ngapain?" Ia menghampiri sang anak.
"Kafi, aku baik-baik aja." Terdengar suara Aji yang berusaha menenangkan Fiqa dari balik pintu.
"Aji?" Mel berusaha membuka pintu. Terkunci.
Pandangannya beralih menuju tempat di mana tangga berada. Sudah ada Nadya yang sedang melangkah mendekat. Wanita itu membuka kunci pintu.
"Dedek!" Fiqa berdiri, memeluk sang adik dengan erat.
"Bunda jahat," ucap Fiqa.
"Kita pulang sekarang." Mel menarik paksa kedua anaknya. Ekspresi kesalnya tidak bisa ia tutupi.
***
Qila duduk di salah satu meja. Pandangannya menatap para pengunjung yang mulai ramai berdatangan karena waktu sudah menunjukan jam pulang kantor. Di hadapannya, ada Avlar yang terlihat sedang memikirkan kata-kata yang ingin ia ucapkan.
Sudah sepuluh menit berlalu. Keduanya saling berdiam diri. Mengingat apa yang terjadi dengan Arvin dan Arion membuat Qila merasa enggan duduk di tempatnya saat ini, tetapi ia masih berusaha menunjukan rasa hormat pada pria yang sangat ia kagumi.
"Kalau belum hapal dialog, kapan-kapan aja, Om. Aku ada kerjaan di belakang."
Avlar meraih pergelangan tangan Qila. "Duduk."
Perempuan itu menurut, melipat kedua tangannya di depan dada.
"Bunda tertekan."
Refleks, Qila tertawa. Jika terkait tentang kekerasan, ia tidak bisa menutupi sifat tidak sukanya.
"Arvin sama Arion lagi ada di usia di mana kebanyakan remaja di luar sana, melalukan kenakalan remaja." Avlar melanjutkan kalimatnya.
"Oh, wow. Informasi yang sangat bermanfaat."
Pria itu menatap minuman di depannya. "Menurut Om, mereka masih dalam batas wajar. Sifat mereka yang suka membantah, bikin Opa gak suka dan bilang kalau bunda gak bisa urus anak, gagal mendidik anak."
Qila tersenyum sinis. "Selalu tentang Opa."
"Jadi, apa yang bunda lakuin, itu karena Opa."
Kini, Qila menegakkan posisi duduknya. "Arvin sama Arion itu anak Om sama bunda atau anaknya Opa? Kenapa harus sesuai kemuannya Opa? Terus, kenapa harus dengan kekerasan?"
Avlar terdiam sejenak.
"Opa bilang, seharusnya Om sama bunda, udah lakuin ini dari dulu supaya mereka tumbuh jadi anak baik."
Dapat Qila rasakan tubuhnya menegang. Ekspresinya berubah menjadi datar.
"Qila, Om gak pernah setuju, Om udah berusaha mencegah bunda." Avlar menggenggam erat kedua tangan Qila. "Om cuma mau kamu nggak musuhin bunda."
Qila menepis tangan pria itu. Tatapannya kosong menatap arah di depannya.
"Qila, Om cerita tentang ini karena ini kamu."
Rasa sesak menyelimuti Qila. Setelah apa yang ia lalui, pikirnya semua orang akan menggambil pelajaran, memperbaiki keadaan, tetapi fakta yang baru ia ketahui membuatnya merasa sangat marah. Haruskah ada dirinya yang lain?
Qila berdiri. "Pintu keluarnya masih sama." Iapun melangkah menuju dapur. Mengabaikan Avlar yang kini terlihat sangat frustasi.
Perempuan itu mengambil obat yang selalu disediakan oleh Mel di dalam tasnya. Setelah meminumnya, ia menyapa para karyawan dengan senyum.
"Kak Qila sakit? Pulang aja, Kak," ucap salah satu karyawannya.
Ia hanya tersenyum.
"Tadi ada telepon gak keangkat."
Pandangannya pun beralih pada gawai miliknya yang berada di dekat tas.
5 missed call
Dengan cepat ia membuka notifikasi dan melihat nama Fiqa. Khawatir, iapun berpamitan kepada para karyawannya.
***
Qila memarkirkan mobilnya dengan asal. Berlari masuk ke dalam rumah, dilihatnya Aji yang sedang duduk di meja makan.
"Fiqa mana, Dek?"
"Apa?" Fiqa muncul dari arah dapur. "Aku masak buat makan malam."
"Kamu kenapa nelepon aku?"
***
Sengaja gantung hahaha. Terus pendek biar kalian kesel aja hehehe.
31 Juli 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...