"Kak, aku berangkat, ya!" Aji berteriak sembari berlari kecil menuruni anak tangga.
"Gak ada yang ketinggalan, kan?" Mel selalu memastikan bahwa keluarganya tidak meninggalkan barang penting sebelum pergi meninggalkan rumah.
Laki-laki itu menggeleng. Dihampirinya wanita yang sedang berdiri di pintu dapur itu. "Nggak, Ma. Aji berangkat, ya."
Setelah mengecup kedua pipi Mel, kakinya kembali melangkah cepat menuju mobil hitam milik Gio yang sudah siap untuk pergi. Karena alasan mabuk pascaterbang, Aji memilih untuk tidak membawa kendaraan sendiri pagi ini.
"Dek! Tunggu!" Dari dalam rumah, Fiqa berlari cepat.
Aji menoleh. Tangannya sudah membuka pintu mobil. "Kenapa?"
"Aku tau kamu pasti ngerasa ngantuk di sekolah nanti. Jadi, kamu harus bawa ini." Gadis itu memasukan beberapa permen kopi yang ia beli di Jepang ke dalam saku celana adiknya.
"Thank you!" Aji tersenyum dan mengecup lembut pipi Fiqa.
Setelah memastikan anaknya naik mobil dan memakai sabuk pengaman, Gio mulai menyetir mobil hitamnya.
"Semalem gak bisa tidur lagi?" tanyanya, membuka topik pembicaraan.
"Nggak. Aji takut ketiduran waktu belajar."
"Gak apa-apa. Santai aja. Nanti juga jam tidur kamu balik normal lagi."
Aji menyandarkan tubuhnya. "Iya."
"Hari ini harus lebih semangat sekolahnya. Kemarin udah jalan-jalan ke Jepang. Terus udah main sama Fanya juga seharian."
Laki-laki itu menunjukkan deretan giginya. "Iyaa, Papaaa. Makasih udah izinin Aji main sama Fanya kemarin."
"Oleh-oleh buat temen-temen, udah dibawa, kan?" Gio menoleh ke arah anaknya, sekilas.
"Udah. Tapi mereka gak tau kalau Aji bawain oleh-oleh. Biar kejutan aja."
Pria dewasa itu tersenyum. "Dulu, Papa selalu pengen bawain temen-temen oleh-oleh waktu pulang dari luar kota. Tapi Opa gak pernah izinin."
Aji memandang jalanan di depannya. "Pa, dulu ... Opa galak?"
"Iya."
"Contohnya?" Anak itu menoleh. Menatap penasaran.
"Segala sesuatu tentang Papa, harus sempurna. Papa gak boleh punya nilai merah. Papa harus tetep baik di depan sepupu yang suka jahat sama bunda. Intinya, Opa bikin Papa gak love myself."
"Terus, apa alasan Papa bisa maafin Opa?"
Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya tertarik. "Mama."
Aji ikut tersenyum. "Berarti, mama punya pengaruh besar bagi kehidupan Papa, ya?"
"Of course! I love your mom. So much."
"Pa, gak mau bagi tips dapet cewek kayak mama?" Anak berseragam putih abu-abu itu tertawa.
"Kerja keras. Cuma itu." Senyuman Gio masih terukir jelas. "Dulu, mama itu dari keluarga orang berada, berpendidikan, dan terpandang. Papa sempet ragu, takut Kakek gak izinin Papa buat deketin anak terakhirnya."
"Terus? Ih, Aji belum pernah denger cerita dari sudut pandang Papa secara langsung." Ia menegakkan posisi duduknya.
Aji sangat tahu dan menyadari jika Kakek adalah salah satu orang yang memiliki harta berlimpah. Pria itu memiliki banyak sekali anak buah dan biasa diperintahkan untuk memata-matai siapa saja laki-laki yang sedang mendekati anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...