Bab 65

5K 394 165
                                    

Persiapan hari lamaran Qila dan Varo tidak dapat dikatakan berjalan dengan lancar. Tiada hari tanpa Fiqa merengek pada Gio untuk membuat hari lamaran diundur sampai kedua orang tua Ervano kembali ke Indonesia. Sejak dulu, dilamar di hari yang sama dengan Qila adalah cita-citanya.

"Ervano gak pernah protes waktu aku bilang, aku mau nunggu Qila punya pacar, baru aku mau nerima lamaran dia, meskipun gak ada yang tau kapan Qila punya pacar." Fiqa menatap sengit sang ayah yang baru saja duduk di meja makan. Kemeja lengan panjang dengan kancing bagian atas dibiarkan terbuka.

"Aku juga gak masalah kalau Ervano ngelamar aku tanpa orang tuanya, yang penting ada Papa sama Mama," lanjutnya ketika tidak ada yang merespons ucapannya.

"Afeeqa." Gio memberikan nada penuh peringatan. Nada yang selalu ia takuti saat kecil dulu, tetapi kini ia sudah tumbuh menjadi wanita yang tidak memiliki rasa takut kecuali kehilangan saudara kembarnya.

Suasana meja makan menjadi dingin. Tidak ada yang membuka topik pembicaraan. Hanya denting alat makan yang saling beradu yang terdengar hingga kelima orang itu selesai menyantap hidangannya. Gio dan Aji pergi menggunakan mobil yang sama. Meskipun masih marah dengan perlakuan sang ayah yang menurutnya tidak memikirkan kebahagiaan kedua kakaknya, Aji tidak berniat menambah drama di rumahnya.

Hari ini adalah jadwal libur bagi Fiqa. Terkadang, ia berterima kasih pada sang ayah yang telah membuat sistem bahwa anggota divisinya hanya perlu masuk kerja seminggu tiga kali saja. Dengan begitu, hari ini ia dapat menemani Qila mempersiapkan hari lamarannya.

Qila berdiri di depan cermin, menyentuh rambut halus panjangnya. Rambut berwarna coklat yang terlihat sehat itu selalu ia rawat dengan hati-hati. Jika sang ayah selalu mengangganya princess, maka rambut adalah mahkota kebanggaannya.

"Aku suka rambut coklat, jadi kayak princess beneran," gumamnya yang tanpa sadar didengar oleh Fiqa.

Hari ini merupakan jadwal Qila harus pergi ke salon untuk mengubah warna rambutnya menjadi hitam, sesuai permintaan Varo. Dari tempatnya berdiri, Fiqa hanya menatap saudara kembarnya, merasa tak sampai hati. Semua orang tahu bahwa Qila memiliki kegemaran mengubah warna rambut, sama seperti Mel.

"Qila," panggil Fiqa pada akhirnya.

Wanita itu menoleh, tersenyum dengan manis. "Hai. Udah siap?"

Fiqa mengangguk. "Kita anter mama ke rumah sakit dulu, ya."

"Aku aja yang nyetir." Qila menambil kunci mobil dari atas mejanya dan melangkah keluar kamar.

Meninggalkan Fiqa sendiri yang kini menghela napas dalam, memperhatikan seisi kamarnya. Dalam waktu dekat, ia akan berpisah kamar dengan saudara kembarnya.

***

Kedua anak kembar itu telah sampai di salon langganan mereka. Datang terlalu pagi untuk salon yang biasa buka di siang hari.

"Orang tuanya Ervano kapan pulang?" Sambil menunggu, Qila bertanya.

"Tiga minggu lagi." Sebenarnya, Fiqa belum siap untuk membahas hal ini.

"Acara aku dua minggu lagi."

Fiqa menundukkan kepalanya. Apakah egois jika ia meminta Qila untuk menunda acaranya? Satu minggu bukanlah hal yang lama, tetapi ia tidak mampu untuk meminta saudaranya itu kembali mengalah untuk keinginannya.

Keheningan menyelimuti keduanya hingga Qila disapa oleh si pemilik salon. Iapun berdiri. "Nanti malam, aku ketemu sama Varo. Aku coba ngomong sama dia, ya," ucapnya seraya pergi mengikuti langkah si pemilik salon.

Fiqa menatap punggung Qila dengan bingung. Lagi-lagi, Qila mengalah demi dirinya.

***

Di sekolah, Aji merasa senang. Untuk sesaat ia mampu tertawa dan bercanda dengan temannya, seolah tidak ada drama yang sedang terjadi di rumah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang