Fiqa menumpuk beberapa lembar kertas kosong dan memasukkannya ke dalam sebuah map dokumen plastik berwarna gelap.
"Fiqa, kemarin kamu kemana aja? Liburan, ya?" tanya seorang pria yang duduk di depannya.
Gadis itu mengangguk. "Iya, Mas."
"Ambil cuti?"
Belum sempat ia menjawab, seorang wanita yang duduk tak jauh dari tempatnya, berkata, "Wah, enak, ya, bisa liburan. Yang di sini, sih, pusing ngurusin desain."
"Udah izin sama Bu Mega?" tanya wanita yang duduk di belakangnya.
"Saya izin langsung ke Pak Bagas," dustanya.
Bagas adalah seseorang yang memiliki jabatan tertinggi di divisi desain. Singkatnya, segala hal yang berhubungan tentang desain baik untuk produk maupun sosial media, harus melalui izinnya. Pria itu satu-satunya penghuni lantai tiga yang mengetahui identitas asli Fiqa.
"Fiqa, lain kali kamu izin ke Bu Mega juga, ya. Beliau gak suka dilewatin," ucap pria yang duduk di depannya.
Fiqa tersenyum, mengangguk. "Baik, Mas. Saya permisi dulu."
Kakinya melangkah meninggalkan ruang kerjanya menuju lift. Lantai tiga terdiri dari beberapa ruangan yang tiap ruangannya disekat oleh dinding dari kaca, membuat para karyawan dapat saling melihat aktivitas di ruangan lain.
Kini, ia telah sampai di lantai tempat ruangan sang ayah berada. Tanpa ragu, ia melangkah menuju sebuah meja. Ada seorang wanita yang bertugas di sana.
"Hai! Cari Papa, ya?" sapanya ramah.
Refleks, Fiqa mengisyaratkan untuk diam. Membuat wanita di depannya menutup mulut.
"Rahasia, ya?" Ia sedikit terkekeh. "Pak Gio lagi ada tamu."
"Gapapa, aku nunggu. Makasih ya, Mba." Fiqa tersenyum ramah.
Kakinya melangkah memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat beberapa sofa dan sebuah lemari pendingin. Tanpa ragu, ia mengambil sebuah susu coklat dingin dari dalam sana.
Pandangannya beralih pada sofa berwarna biru muda, merah muda, dan hijau muda yang diletakan di salah satu sisi ruangan. Ingatannya kembali pada saat ia, Qila, dan Aji sering berkunjung ke tempat ini.
Ketiganya akan duduk di atas sofa itu sambil menunggu sang ayah yang sedang bekerja di ruangan sebelah. Senyumnya terukir mengetahui fakta bahwa Gio tidak membuang ketiga sofa dengan warna berbeda itu.
Pintu ruangan sebelah, terbuka. Pintu yang menghubungkan ke ruang kerja pribadi milik Gio. Ruangan tempatnya berdiri saat ini biasa dipakai oleh orang-orang yang sedang mengantre untuk menemui sang pemilik perusahaan.
"Fiqa? Kamu ngapain di sini?" tanya seorang wanita berbadang sedikit gemuk dengan nada galak.
Fiqa terpaku. Ia terkejut melihat Bu Mega yang keluar dari ruang pribadi milik Gio. Wanita itu adalah pimpinan di bagian Desain Produk, tempatnya bekerja.
Dengan senyum ramah, Gio berkata, "Saya yang minta Fiqa ke sini."
Kini, Bu Mega menatap atasannya dengan bingung. "Kenapa?"
"Saya suka sama desain bikinan Fiqa," ucap Gio masih dengan nada ramahnya.
Faktanya, meskipun Fiqa hanya membuat garis secara asal, pria itu tetap menyukainya.
Bu Mega tersenyum. "Didikan saya, Pak."
Gio tersenyum tipis. "Baik, saya ingin bicara dengan Fiqa."
Merasa terusir, wanita itupun meninggalkan ruangan.
"Sini, masuk." Pria itu mempersilakan sang anak untuk memasuki ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...