"Kak, ini bagus, gak?" Aji menunjukkan kameranya pada Fiqa yang kini sedang duduk di sampingnya.
"Bagus. Pemandangannya juga." Gadis itu menyeruput minumannya.
"Oke, aku mau upload di Instagram."
"Kamu masih mau main Instagram? Aku kira udah nggak. Akun kamu udah bulukan, jarang upload foto." Fiqa meledek.
"Pemandangan di Turki bagus."
Hari ini, tepat dua minggu Aji dan keluarga berlibur di Turki. Mereka juga melewati malam pergantian tahun di negara yang berada di kawasan Eurasia itu.
Setelah berhasil mengunggah foto berlatar Kapadokia miliknya, ia memasukan gawainya ke dalam saku celana. Pandangannya beralih pada Qila yang sedang berdiri di dekat jendela, memandang langit.
"Kaela, gelang baru, ya?" tanya Aji yang baru menyadari bahwa kini kakaknya memakai sebuah gelang.
Qila menoleh sekilas, tersenyum tipis.
"Kafi, gak pake?" Pandangannya beralih pada pergelangan tangan Fiqa yang hanya memakai jam tangan.
"Nggak."
Mendengar jawaban Fiqa, lelaki itu menyadari sesuatu. Kakinya melangkah, mendekati Qila. "Gelang dari siapa, Kak? Gak mungkin Kaela beli tanpa beliin buat Kafi."
Gadis itu tidak menjawab.
"Ke Korea, yuk?" Fiqa berusaha menutupi paniknya.
Kening Aji mengkerut. "Kak? Aku lagi nanya gelang."
"Terus? Aku cuma ngajak ke Korea." Ditatapnya wajah sang adik.
"Jepang aja."
"Kita udah ke Jepang. Gantian, dong." Fiqa memajuka bibir bawahnya.
"Waktu itu Kaela gak ikut."
"Jepang seminggu. Korea seminggu. Gimana?" tanya Qila.
"Waktu kita tinggal seminggu lagi. Kasian pasien Mama kalau Mama liburnya terlalu lama," ucap Mel yang baru memasuki ruangan.
"Kita ke Korea sekarang. Tapi tahun ini kita harus ke Jepang, ya? Lengkap berlima," ucap Aji dengan serius.
Qila terkekeh. "Iya. Kamu yang bayarin tiketnya, kan?"
Mulut Aji terbuka. "Papa sama mama. Eh, tapi Kafi udah kerja."
"Gajinya Fiqa dipake buat kita liburan ke Jepang, gitu?" tanya Qila, memastikan ucapan adiknya.
"Iya!" Aji menjawab dengan penuh semangat.
Fiqa yang sejak tadi namamya disebut, berusaha menutupi ekspresi takut. Tetapi usahanya tidak berhasil karena Qila yang sangat mengetahui tentang adik-adiknya.
"Kalian nabung juga, dong. Bisa ke luar negeri pake duit sendiri, jauh lebih asik." Mel tersenyum, duduk di pinggir sebuah kasur berukuran besar.
Qila kembali menatap ke arah luar jendela. "Aishah gimana, Dek?"
Aji kembali duduk di atas kasur. "Belum ada banyak perubahan. Masih gak mau megang kamera."
"Tapi udah mau difoto," lanjut Mel.
Anak lelaki itu menghela napasnya. "Kalau Aji gak ikut lomba, Aishah gak akan trauma kayak gini."
Ekspresi Fiqa terlihat kesal. "Apa, sih? Aku gak suka kalau kamu nyalahin diri kamu sendiri."
Pandangan Qila beralih pada adik lelakinya. "Kadang, ada hal yang di luar kendali kamu. Sekeras apapun usaha kamu untuk bikin hal itu gagal, kalau emang takdirna berhasil, ya berhasil. Gitu juga sebaliknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...