Bab 43

5.9K 1K 436
                                    

Satu bulan kemudian.

Satu minggu lagi adalah jadwal Ujian Akhir Semester. Seperti kebanyakan anak seusianya, ia disibukkan oleh jadwal belajar yang dibuat sendiri. Hanya dengan memanfaatkan waktu istirahat di sekolah ia bisa menghabiskan waktu bersama teman-temannya maupun Fanya.

Hari ini, ia datang ke sekolah seperti biasa. Untuk beberapa waktu ke depan hingga selesai mengikuti ujian, ia memilih untuk diantar oleh seorang sopir ketimbang mengendarai motor kesayangannya. Kakinya melangkah memasuki gerbang sekolah.

Akan diadakannya kegiatan upacara hari ini membuat sudah banyak siswa yang hadir meski masih terlalu pagi. Sejak langkah pertamanya, ia sudah menyadari jika banyak pasang mata yang memerhatikannya dengan tatapan sinis.

Mencoba mengabaikan mereka semua, Aji tetap berjalan dengan santai menuju ruang kelasnya. Mesipun dalam pikirannya memertanyakan mengapa teman sekolahnya terus memerhatikan dirinya.

"Aji, duduk bareng, yuk?" sapa Damar yang sudah sejak tadi berada di kelas.

"Ayo."

Damar bertukar posisi dengan Felix.

"Mar, gue kenapa?" tanya Aji secara tiba-tiba.

Yang ditanya hanya menoleh sekilas dan terkekeh. "Mana gue tau."

"Tapi gue masih ganteng, gak?"

"Masih," jawab Sean yang baru memasuki ruang kelas.

"Tumben sendirian. Mana kembaran tak serupa lo itu?" tanya Damar.

"Arnaldo? Lagi ngegosip. Biasalah."

Aji terkekeh. "Kurang kerjaan."

"Damar, lo piket hari ini!" teriak Firla dari arah depan kelas.

"Iya, gue gak pikun!" Lelaki itu berdiri.

Dengan cepat, Aji berlari ke depan kelas dan mengambil sapu. "Gue aja."

"Dih, lo piket besok!" ucap Sasya.

"Damar kakinya lagi sakit, harus banyak istirahat. Gue besok piket lagi. Tenang." Aji mulai menyapu lantai. Bukan hal yang sulit baginya karena sejak kecil, Gio mengajarkan bagaimana cara membersihkan rumah.

"Gue aja, Ji." Damar mengambil sapu.

"Nggak. Lo harus istirahat." Aji mencegah temannya untuk membersihkan lantai.

"Ji, gue udah baik-baik aja." Temannya itu berkacak pinggang. "Gue udah bisa nendang lo. Apa perlu gue tendang kepala lo?"

Refleks, Aji meletakkan sapunya. "Stubborn."

Iapun kembali ke tempat duduknya. "Felix, kalau atribut sekolah gak lengkap, bisa bikin orang tua dipanggil?"

Yang ditanya menunjukkan ekspresi bingung. "Bisa iya, bisa nggak. Kenapa?"

Aji menunjukkan deretan giginya. Tanpa pikir panjang, ia melepas sepatu hitamnya. Menarik kaos kakinya, membuat benda berwarna putih yang semula panjang sebetis menjadi semata kaki.

"Ji, lo ngapain? Kenapa dipendekin? Hari ini upacara!" Kadek yang menyadari, mencoba mengingatkan temannya.

"Mar, liat Aji, Mar!" adu Sean.

Damar meletakkan sapu dan melangkah menghampiri Aji. "Ngapain lo? Mau nyari masalah?"

"Mau ngerjain bokap gue biar otaknya gak kerja doang." Aji merapikan sepatunya.

"Bukannya emang selalu kerja?" tanya Felix.

"Ini beda. Minggu kemarin, bokap cuma ikut makan malam bareng keluarga sekali doang."

WasanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang