"Di rumah bunda, ngapain aja?"
Adalah pertanyaan dari Gio yang dilontarkan untuk anak lelakinya ketika baru saja menaiki mobil.
"Main sama Arvin, Arion," jawabnya singkat.
Kedua matanya melirik ke kanan dan ke kiri secara terus menerus. Posisi duduknya diapit oleh kedua kakak kembarnya.
"Kita makan malam di mana?" Qila membuka topik pembicaraan.
"Mau di rumah? Papa yang masak," ucap Gio yang disambut oleh teriakan gembira dari kedua anak perempuannya.
Mel yang duduk di bangku depan, menoleh ke arah anak lelakinya. Menyadari lirikan anaknya yang terlihat aneh, ia menepuk lutut sang anak.
Aji tersadar. "Eh, kanapa, Ma?"
Wanita itu tersenyum. "Kamu kenapa? Daritadi ngelirik-lirik."
Mendengarnya, Qila langsung menoleh ke arah kanan, menatap sang adik dengan khawatir. Fiqa yang mengerti, mencoba mengalihkan topik.
"Hari ini, cantikan aku atau Qila?" tanyanya kepada Aji.
Lelaki itu mengernyitkan kening. Dengan pandangan lurus ke depan, menatap jalan raya, ia menjawab, "Emang, ada bedanya, ya?"
Jawaban yang ia lontarkan adalah kalimat aman. Mel yang mendengarnya hanya tersenyum. Selalu mencari aman adalah sifat ayah dari ketiga anaknya.
"Nanti Papa masak, Kaela bikin makanan penutup mulutnya?" Masih dengan pandangan ke depan, ia bertanya.
"Ambil di toko aja, kita mampir toko. Aku males masak." Qila menyandarkan tubuhnya. "Capek."
Refleks, Aji menoleh, menatap kakak pertanyanya dengan penuh khawatir. "Ya udah, jangan, deh. Langsung ke rumah aja, Pa. Kasian Kaela harus istirahat."
Fiqa menatap curiga. "Biasanya kamu maksa Qila masak."
"Kasian, Kaela capek. Udah tua." Aji menunjukkan deretan giginya.
"Dua puluh dua tahun," ucap Qila.
"Apa kita sebenernya lahir waktu Indonesia merdeka?" Fiqa tampak berpikir.
"Mama juga belum lahir." Mel tertawa.
Aji memeluk Qila. "Pokoknya Kaela gak boleh lahir." Ia menarik paksa Fiqa ke dalam pelukannya. "Kafi juga."
Gio melirik dari ke arah anak-anaknya yang sedang berpelukan. Ada kehangatan yang juga dapat ia rasakan.
***
"Mama?" Aji mengetuk pintu kamar kedua orang tuanya. Terlihat Mel yang sedang duduk di atas kasur, membaca sesuatu.
"Masuk, sayang."
"Ma, Aji mau nanya. Tapi jawab jujur, ya?"
Mel menatap anaknya dengan serius. "Apa?"
"Di antara Kaela sama Kafi, siapa yang pernah sakit keras?" tanyanya tanpa basa basi.
Wanita itu terkejut. Tidak mengerti apa yang dimaksud oleh anaknya.
Aji terlihat bingung. "Kalau yang sakit parah?"
"Gak ada juga."
"Serius, Ma?"
"Kenapa kamu tiba-tiba nanya kayak gini?"
Suara pintu yang diketuk terdengar. "Makan malam udah siap, ayo turun!" Qila berucap dengan riang.
Mel dan Aji pun meninggalkan ruangan dan pergi menuju lantai bawah. Di atas meja makan, sudah tersedia beberapa menu makanan yang dihias persis seperti restoran bintang lima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasana
Teen Fiction[DIIKUT SERTAKAN DALAM MARATHON WRITING MONTH NUSANTARA PEN CIRCLE 2021] Aji tumbuh menjadi anak lelaki tunggal yang sangat mengagumi sang ayah. Mulai dari makanan kesukaan hingga gaya berpakaian. Meski sering berbeda pendapat, baginya sang ayah me...